-->

Translate This Blog

4.6.19

Hubungan Puasa Ramadhan dan Kembali Fitri

'Iedul Fitri


فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui"(Q.S. Ar-Ruum : 30).

Lautan umat Islam memadati masjid untuk menunaikan solat sunah Idul Fitri. Gaung takbir, tahmid dan tahlil mengiringi jama’ah yang senantiasa merasakan suasana haru, bahwa dirinya kembali fitri. Ungkapan kebahagiaan menyelimuti suasana pagi yang penuh kesejukan.

Idul Fitri begitu menggema di setiap telinga muslim yang tinggal di perantauan. Apa pun resikonya, mereka harus menjadi bagian untuk ikut sebagai pemudik lebaran. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.

Siapa pun kaum muslim pasti memaklumi hal demikian. Kegembiraan begitu terasa telah hadir di hati, sekalipun masih jauh dari hari tibanya Idul Fitri. Akan tetapi, jantung seolah menderu-deru bagaikan gelombang ombak di lautan. “Apa yang harus saya persiapkan untuk Hari Raya Idul Fitri?” begitulah kiranya para orang tua yang sudah lama berpengalaman menghadapi Hari Raya tiba bagi umat Islam.

“Apa yang harus saya persiapkan untuk Hari Raya Idul Fitri?” menarik menjadi pembicaraan sesuai topik tulisan ini. Paling tidak, saya akan menyorot dari kata-kata Idul Fitri. Secara umum artinya adalah kembali fitri.

Fitri atau fitrah ada banyak arti; sifat asal, kesucian, pembawaan atau watak. Saya hanya menyesuaikan makna dari Idul Fitri sebagaimana digambarkan ayat di atas. “Kembali fitri atau fitrah,” dengan demikian, dapat dimaknai sebagai kembalinya kehidupan manusia pada “ketetapan-Nya,” yaitu menghadap kepada Allah melalui agama-Nya yang dibawakan oleh Rasul-Nya Saaw. Itulah agama yang lurus.

Secara fitrah, kerap kali kita menggunakan kata ini, berarti sesuai dengan ketetapan baku yang tidak dapat diubah-ubah. Sifat asalnya. Atau menurut pembawaannya. Kata orang Betawi: sudah dari sononya.

Ada banyak penafsiran tentang sebutan Idul Fitri. Ada yang menyebut kembali suci. Setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, maka bagi yang telah berhasil menjalankannya dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara syar’i, ia berhak kembali menjadi seorang manusia yang suci tanpa dosa.

Makna Fitri Terkait Puasa Ramadhan


Sedangkan menurut pengertian dari ayat di atas, maka kembali fitri atau fitrah bermakna sebagaimana penjelasan yang sudah saya sampaikan. Artinya, sesudah menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh, setiap mukmin harus kembali kepada ketetapan Allah Azza wa Jalla mengikuti agama yang lurus. Kehidupan umat manusia, khususnya kaum mukmin, tidak boleh melenceng dari ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla melalui Rasul-Nya saw.

Ketetapan Allah atas kaum mukmin yang telah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, maka baginya (kaum mukmin) akan dikembalikan pada esensinya sebagai manusia yang mengikuti perintah dan larangan-Nya dengan ketundukan dan kepatuhan. Inti dari pengajaran tersebut (ibadah puasa) adalah mengajak kaum mukmin untuk menjadi orang-orang yang bertakwa. Dan, itulah sebabnya mengapa Allah Azza wa Jalla jauh-jauh sebelumnya memerintah kepada kaum mukmin untuk berpuasa agar (mudah-mudahan) menjadi orang-orang bertakwa (lihat Q.S. Al-Baqarah : 183).

Pelaksanaan ibadah puasa yang sangat melelahkan selama satu bulan penuh, maka Allah mengganjarinya dengan Hari Kemenangan bagi umat Islam untuk “bergembira” di bulan Syawal selama satu hari.

Arti kemenangan tidaklah dimaknai sebagai berpesta pora, melainkan melepas kelelahan berpuasa, dan memperkenankan kembali untuk mengikuti ketentuan umum layaknya kehidupan seorang manusia tanpa ada pencegahan dari makan dan minum serta hal-hal lainnya dalam batas hak dan kewajiban.

Adanya ungkapan kegembiraan menunjukkan suasana yang menyenangkan. Karena itu, kaum muslim dianjurkan agar jangan sampai ada yang sedih pada Hari Raya Idul Fitri. Inilah yang mewajibkan diperintahkannya kaum muslim yang ‘muzaqqi’ untuk mengeluarkan zakat fitrah kepada yang berhak menerima (mustahiq) sebagai bentuk solidaritas (kesetiakawanan sosial) sekaligus penyucian jiwa dari kekotoran yang masih melekat di dalamnya.

Jadi, perayaan, zakat fitrah dan kemenangan serta kegembiraan tak dapat dipisahkan. Semua aspek terkait di dalamnya membentuk satu kesatuan sebagai wujud Hari Raya Idul Fitri. Tambahan lagi, suasana kemenangan dan kegembiraan tak bisa tidak bersinggungan dengan sanak keluarga dan handai tolan. Maka, pada Hari itu suasana bercampur baur antara bahagia, gembira dan adanya kesempatan untuk saling bermaaf-maafan. Subhanallah wal hamdu lillah wa la ilaha illallahu Allahu Akbar.

Keyakinan umat Islam akan kembali fitri (suci) atas dirinya di 1 syawal sama sekali tidak salah. Dalam hal ini, fitri diartikan suci. Jikalau demikian, maka kembali suci dapat dimaknai sebagai berpulangnya keadaan jiwa menjadi bersih dari kesalahan dan dosa.

Ungkapan demikian karena kaum muslim, khususnya kaum yang beriman kepada perintah dan larangan Allah, telah berpayah-payah untuk berpuasa meredam keinginan nafsu jasmani, juga ruhani dari gangguan iblis laknatullah ‘alaih.

Arti Kembali Suci akan lebih mengena kepada jiwa seorang yang beriman sekiranya di dalam dirinya tak ada lagi noktah kesalahan dan dosa selama menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Selama itu pula keadaan jiwanya benar-benar memahami dan menyadari makna berpuasa dalam pengertian yang lebih luas mencakup, paling tidak, 3 (tiga) hal:

  1. Berpuasa dimaknai sebagai ujian bagi jiwa untuk tetap bersabar dari ketaatan kepada Allah, bersabar dari tidak melakukan dosa kepada-Nya dan bersabar menghadapi ujian tersebut;
  2. Berpuasa merupakan perintah yang patut dijalankan dengan penuh keikhlasan bukan karena keterpaksaan;
  3. Berpuasa sebagai madrasah untuk melatih jiwa tetap sebagai fitrahnya untuk merendahkan diri di hadapan kemahabesaran Allah Azza wa Jalla, di samping sebagai ungkapan rasa kesetiakawanan sosial terhadap kaum fuqara dan masakin.

Pelajaran Puasa Untuk Kembali Fitri



Allah Azza wa Jalla benar-benar telah mendidik kaum mukmin untuk mampu mencegah melalui berpuasa. Mencegah untuk tidak mengikuti hawa nafsu. Sesungguhnya nafsu itu cenderung mengajak kepada keburukan, kecuali nafsu yang dirahmati (dicurahkan kasih sayang) oleh Allah (lihat Q.S. Yusuf : 53).

Kemampuan untuk mencegah dari berbuat menurut nafsu “yang tidak dirahmati oleh Allah,” sungguh sangat sulit dan berat. Dalam bahasa arab, nafs (nafsu) itu adalah diri. Saya, sebagaimana di beberapa tulisan saya sebelumnya, menyebut diri itu sesunguhnya adalah jiwa atau ruh atau hati kita. Maka, Allah berkehendak mendidik melalui berpuasa agar kaum mukmin “mau” belajar untuk mengekang nafsu (diri) atau jiwa atau ruh atau hati “yang tidak dirahmati oleh Allah” tersebut.

Bayangkan bagaimana kita akan mampu mengekang nafsu (diri) atau jiwa atau ruh atau hati “yang Allah tidak merahmatinya”? Puasa, lebih merupakan ajakan kepada kaum mukmin, justru menghendaki agar kaum mukmin benar-benar berjuang untuk mengalahkan nasfu semacam itu. Maka, pertanyaan yang muncul adalah sudahkah kita benar-benar berjuang (berjihad) melalui puasa itu melumpuhkan hawa nafsu yang jauh dari rahmat (kasih sayang) Allah?

Itulah pendidikan Allah melalui puasa dalam mengekang nafsu syaitoniah. Lantas adakah kita mengetahui bahwa begitulah sesungguhnya Allah mewajibkan berpuasa bagi kaum mukmin? Pantaslah jika Allah menjanjikan ketakwaan (kemulian diri di sisi-Nya) bagi kaum mukmin yang menjalankan ibadah puasa karena beratnya berpuasa di bulan Ramadhan yang dipenuhi rahmat, ampunan dan diamankan dari siksa api neraka.

Sekiranya kaum mukmin dapat berpuasa di bulan penuh kemuliaan sebagaimana yang dikehendaki Allah, maka patutlah dia meraih kesucian jiwa. Kesucian jiwa berarti terbebaskannya jiwa dari kekotoran yang melekat di dalamnya karena kesalahan dan dosa. Dalam kondisi jiwa yang seperti itu, Allah pun rido mengilhamkan ketakwaan ke dalamnya (fa alhamaha taqwaha, lihat Q.S. Asy-Syamsi : 7-8).

Pelajaran puasa untuk kembali fitri atau suci hanya akan berfungsi jika kaum mukmin memaklumi berpuasanya seperti itu. Allah Azza wa Jalla sesungguhnya sangat Menyayangi kaum mukmin dapat dirasakan sekiranya apa yang menjadi perintah Allah dilaksanakan dengan ketawadu’an, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post

6 komentar

avatar

Ya Allah, teguhkan hati hamba utk selalu memenuhi ketentuan-Mu, tolonglah hamba utk menundukkan hawa nafsu, teduhkan pandangan hamba dgn tawadhu dan jadikanlah hamba termasuk ke dalam golongan orang yg menepati janji.

Pak Ahmad, kesedihan ini begitu terasa menjadi sebuah kepedihan karena menyadari diri ini telah kalah. Dunia tak mungkin tuk diabaikan namun akhirat masih sulit utk diuraikan, bahkan dgn sejuta makna Ramadhan pun bila hati telah tertutup dgn kefanaan. Istighfar menjadi tak cukup utk menghapus dosa lalu dan sholat masih tak mampu memupus rasa rindu utk mendekatkan diri pada-Nya... hampa, sesat dan bingung di antara dua masa: dunia dan akhirat, seakan waktu yg tersisa tak akan cukup menjawab kepastian di antaranya, padahal jawabannya begitu dekat, sangat dekat... namun terhalang dgn kabut kefanaan dunia yg tak mampu dihalau. Akankah bisa kembali fitrah..?

Semoga Allah selalu memberi petunjuk bagi hamba melalui karunia-Nya.

Wassalam,
Shaliq.

avatar

Pertama-tama, saya atas nama diri yang tak berdaya dan angota keluargaku, yang juga tak mampu banyak berbuat jika bukan karena pertolongan Allah, menyampaikan kebahagiaan atas kerinduan kepada Dia (Allah) Yang Maha Sempurna dalam penciptaan langit dan bumi!

Shaliq yang dibanggakan oleh Allah karena keinginan untuk menjadi orang yang beriman kepada-Nya benar-benar melampaui perjuangan (jihad) yang luar biasa, dan merasakan betapa tidak mudah untuk menggapai-Nya, saya ingin mengabarkan kepada antum (mudah-mudahan berfaedah bagi diri, juga anggota keluarga!):

Allah Azza wa Jalla adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana! Dengan kemahabijaksanaan-Nya, Dia (Allah) sangat berbeda, dan pasti tak mungkin terjangkau apa yang menjadi kebijaksanaan-Nya jika tidak diberitakan oleh-Nya, dengan persangkaan hamba-Nya kepada apa pun yang telah ditetapkan di dalam kasih sayang-Nya! Hal inilah setiap jiwa sangat sulit untuk mengetahui di balik yang terbaca oleh pengetahuan lahirnya mengenai apa yang menjadi rahasia-Nya!

Adakah yang dapat memahami mengapa antum diuji oleh Allah Yang Maha Bijaksana? Allah SWT sesungguhnya tidaklah berbuat sebagaimana keinginan nafsu manusia, selain dengan penuh kasih sayang-Nya!

Akal kita sangat boleh jadi selalu cenderung menggunakan persangkaan yang tidak mengikuti petunjuk dari dalam jiwa (hati atau ruh atau diri), bahwa ujian Allah tidak mendukung keinginan "baik" lahiriah! Seolah apa yang dipikirkan, disimpulkan oleh akal kita selalu saja berseberangan dengan kehendak-Nya!

Persangkaan semacam itu ternyata sangat salah! Padahal, sesungguhnya dengan ujian tersebut, Allah hendak mengangkat derajat diri ke tempat kedudukan yang mulia di sisi-Nya! Dan, kehendak Allah tersebut justru sangat diharapkan oleh jiwa (diri atau hati atau ruh) manusia. Ini adalah tahap pertama akal memahami kehendak-Nya, yang direspon tidak sebagaimana seharusnya sejalan dengan suara hatinya!

Tahap selanjutnya, akal menerjemahkan kemauannya harus senantiasa Dapat Dipenuhi oleh Allah Yang Maha Perkasa! Dalam posisi ini, Allah Azza wa Jalla dianggap seakan "Harus Dapat" mengikuti keinginan nafsu lahiriahnya! Tidak bisa tidak, Allah disuruh untuk mengabulkan segala permohonannya! "Bukankah Allah akan mengabulkan do'a orang yang berdo'a kepada-Nya?" kata akal setelah membaca ayat-Nya!

Ternyata, ayat ini dijadikan untuk menjadi dasar bagi kebanyakan kaum mukmin akan pemenuhan setiap do'a yang dipanjatkannya! Namun demikian, sayangnya, dia (kaum mukmin) sangat terburu-buru mengamati apa yang seharusnya dikehendaki oleh Allah pada ayat-Nya tersebut! Cobalah perhatikan dengan seksama:

وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran" (Q.S. Al-Baqarah : 186).

Bersambung...

avatar

(Sambungan)


Ayat di atas, ternyata bukan sekedar mengabulkan do'a orang yang berdo'a, justru Allah Azza wa Jalla menghendaki agar dipenuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya! Ini dapat dimaknai bahwa Allah meminta untuk menjadi orang yang bertakwa agar do'anya diijabah langsung! Agar dimaklumi bahwa setiap do'a memang diterima, tetapi tidak pasti dikabulkan secara langsung tanpa hisab (tak terhalang) sekiranya kehendak Allah belum dipenuhi!

Sekalipun demikian, sesungguhnya Allah Maha Pemurah kepada semua makhluk-Nya! Maka, sekiranya orang beriman berdo'a kepada Allah dan dikabulkan do'anya, namun juga belum bertakwa, itu lebih disebabkan karena Dia (Allah) sangat menyayangi orang yang berkhidmat dengan do'anya tanpa merasa lelah dia berdo'a! Karena itu, do'anya terkabul dengan rentang waktu yang demikian mencemaskan jiwa (diri atau hati atau ruhnya)!

Karena itu, kita sepatutnya mengubah mainstream yang salah dalam memaknai ujian dengan kehendak-Nya dalam mengantarkan kaum mukmin pada maqam yang diposisikan sebagai hamba-Nya yang mulia!

Kesadaran ini sangat penting agar kita tidak terjebak pada kubang yang sama! Hindari "kekeliruan memaknai" karena persangkaan akal yang cenderung salah, yang diakibatkan tidak mau mendengar suara hatinya yang tulus akan kesetiaan kepada Tuhannya, yakni Allah Azza wa Jalla!

Di situlah kita harus berjuang (jihad) untuk mencintai Allah dengan sepenuh hati (dzikir nafs) agar dicurahkan kasih sayang-Nya (sehingga Allah pun rido mengajarkan Al-Hikmah kepada hati atau jiwa atau diri atau ruh kita)! Sesungguhnya hal yang demikian sangat dikehendaki oleh Allah.

Mendahulukan kehendak Allah akan menuai tercukupinya segala yang menjadi kebutuhan hamba-Nya karena Dia (Allah) adalah Tuhan Yang Dapat Memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya! Sebaliknya, mustahil manusia yang selalu mengejar keinginan dengan nafsu lahiriahnya dapat memenuhi apa yang dikehendaki Allah karena sesungguhnya nafsu selalu mengajak kepada keburukan, betapa pun akal berupaya menerjemahkan setiap ayat-ayat-Nya dengan persangkaan kemampuan kecerdasan otaknya memaknai-Nya!


Salam dariku,


Ahmad

avatar

Terima kasih Pak Ahmad atas tuntunannya. SubhanAllah..

"Setiap insan kan diuji dgn sesuatu yg dicintai.. Allah maha pengasih, Allah maha penyayang" (sebuah lagu yg dilantunkan ustadz Jefri), memang benar adanya.

Adalah sangat sulit menerima bila melihat org yg tindakannya dimurkai Allah justru diberi kenikmatan duniawi, sdgkan ada org yg berjihad menahan diri utk selalu mematuhi perintah Allah justru dibatasi kenikmatan duniawinya. Sulit melihat ada seseorang yg diberi kelapangan utk memberi namun tak mau memberi, ada yg sangat ingin memberi namun tak memiliki sesuatu utk memberi. Masing2 diberi ujian dgn titik terlemahnya..

Hikmah dari itu semua adalah, kesabaran. Mungkin kesabaran itu menjadi tolok ukur ketaqwaan dan keimanan seseorang, bahwa Allah maha pengasih dan penyayang kepada hamba-Nya. Bahkan keinginan memberi pun bisa menjadi nafsu andai tak mampu menahan diri shg akhirnya memaksa diri dgn mencuri agar bisa memberi... keinginan beribadah pun bisa menjadi nafsu bila pada akhirnya harus menelantarkan keluarga..

Sungguh berat bhw di akhir zaman ini sekedar tersenyum saja pun menjadi sulit karena kefanaan menutup mata dan hati.
Kesabaran menghantar kepada keikhlasan dan keikhlasan akan memupus penyakit hati, menekan hawa nafsu.

Pak Ahmad, setelahnya, bagaimana menghadapi nafsu di luar diri (nafsu dari anak-istri, nafsu dari orang tua dan saudara)..? Nafsu mereka mampu menggugah nafsu diri yg bisa jadi membutakan mata dan hati, menjadi kalap dan lupa diri akan peringatan Allah? Syetan mungkin tidak masuk ke dalam diri namun masuk melalui keluarga dgn mempermainkan ayat2Nya utk memenuhi tanggung jawab kepada mereka, menjaga hati dan membahagiakan mereka?

Ya Allah, semoga hati ini tidak menjadi lelah. Semoga hati ini selalu diteguhkan utk menjawab amanah dari-Mu, semata karena sekedar menjalankan perintah-Mu ya Allah, bukan hanya karena mengharap ganjaran dari-Mu. Ikhlas utk bisa kembali fitri..

Mohon tuntunan selalu dari Bapak.. Semoga Allah selalu merahmati Bapak dan keluarga...

Wassalam,

Shaliq.

avatar

Shaliq yang saya hormati dan mudah-mudahan Allah Yang Maha Mulia berkenan mengajarkan anda Al-Hikmah ke dalam jiwa antum.

Sesungguhnya pengajaran Al-Hikmah ke dalam jiwa atau diri atau hati atau ruh yang menyebabkan orang beriman "mampu" menghadapi diri-diri di luar diri kita! Tanpa itu, kita pasti sulit untuk berada di dalam perkataan dan tindakan yang lurus!

Hanya dengan Al-Hikmah itulah diri atau jiwa atau hati atau ruh kita dapat "memaklumi" apa yang menjadi kehendak Allah! Misalnya, seseorang (diri orang lain) berkata-kata yang tak patut diucapkan di hadapan antum, maka ada dua respon yang berbeda:

Pertama, apabila antum tanpa Al-Hikmah, kecenderungan diri antum akan langsung membalasnya dengan nafsu, yakni membantah dengan kata-kata yang akan memunculkan pertengkaran dan permusuhan!

Kedua, sekiranya antum telah mendapati pengajaran Al-Hikmah di dalam jiwa atau diri atau hati atau ruh, maka tanpa terjangkau oleh akal secara tiba-tiba antum membalasnya tanpa terdorong nafsu, tetapi sebaliknya ucapan antum dapat menyadarkan keangkuhan diri orang lain tersebut!

Pengajaran Al-Hikmah adalah kebijaksanaan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mulia! Perbuatan Allah mengajarkan Al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki karena orang yang Allah pilih itu senantiasa berkhidmat mendahulukan kehendak-Nya, tidak mendahulukan kepentingan dirinya yang cenderung dihinggapi nafsu syaitoniah!

Saya telah menulis secara berulang, bahwa Allah Menghendaki kaum mukmin untuk mencintai-Nya dengan senantiasa menyebut asma-Nya (berdzikir) di dalam hatinya atau ruhnya atau jiwanya atau dirinya dengan sebanyak-banyaknya (tidak terbatas) baik dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring di waktu pagi dan petang (pagi...siang...petang...malam...pagi...terus berulang) tanpa merasa lelah dan benar-benar tulus menyebut asma-Nya dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan menyebut-Nya dengan kelembutan jiwa!

Jika hal demikian dapat dilakukan, maka Allah pasti akan mencintai antum! Apa bukti Allah mencintai antum? Tanda-tanda-Nya adalah ada suara di dalam hati yang mengajak antum untuk mengikuti perintah dan larangan Allah dalam kehidupan sehari-hari secara khidmat!

Suara itu bukan bisikan! Bisikan selalu mengajak kepada keburukan, keragu-raguan dan kegelisahan! Sebaliknya, suara hati sangat menyejukan jiwa, menenteramkan hati dan sangat bergairah untuk tetap mencintai-Nya (berdzikir)!

Sangat jelas! Bila hati antum sulit dan malas untuk berkhidmat menyebut asma Allah, itu pertanda iblis selalu berusaha menghalanginya! Jika tidak dilawan dengan perkataan: "Tidak, aku harus berdzikir dengan menyebut asma Allah karena sesungguhnya Dia (Allah) pasti akan menghancurkan kamu iblis!" maka antum akan disekap oleh mereka dengan memunculkan persangkaan-persangkaan yang seolah benar, padahal palsu!

Untuk itu, bermohonlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar diberi kemampuan untuk mengalahkan mereka! Antum akan ditolong oleh Allah tanpa antum sadari. Insya Allah!


Salam dariku,


Ahmad

avatar

Terima kasih Pak Ahmad yg tiada bosannya menuntun saya utk terus menjaga zikir.. memang benar adanya demikian.
E-mail saya terakhir (sblm saya membuka blog ini) juga adalah berkaitan dgn hal tsb...

Subhanallah... Allahu akbar...

Ampuni segala kesalahan dan kelemahan hamba ya Allah... dan hamba memohon diberi kekuatan utk terus mengingat-Mu.
Amin ya Robbal alamin.

Wassalam,

Eddy.


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner