Translate This Blog

9.9.18

Pentingnya Berthoriqah Bagi Umat Rasulullah Saw

ahli zikir

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Tuhan Yang Maha Berkuasa atas seluruh makhluk-Nya di alam semesta. Saya patut bersyukur kepada Allah Yang Maha Hidup lagi Berdiri sendiri atas anugerah yang telah dilimpahkan kepada segenap umat Rasulullah saw. yang telah diakui dan diridhai menjadi umat yang terbaik. Kedudukan seorang muslim telah diikrarkan pada setiap Nabi, bahwa Islam merupakan sebuah pilihan yang harus diterima bagi siapa pun yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya saw. Di sinilah pentingnya berthoriqah bagi umat Rasulullah saw yang hadir saat ini.

Islam di masa Nabi, sebelum Rasulullah saw. terpilih mengakhiri kenabian seluruh manusia pilihan, menjadi pedoman dalam berkeyakinan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah (Agama Tauhid). Kini, sejak Rasulullah yang agung diutus menyebarkan nilai-nilai kebenaran atas apa yang telah diwahyukan kepadanya, tidaklah diwujudkan dalam bentuk hanya cukup beriman, melainkan juga disertai dengan beramal soleh.

Wujudnya amal soleh tidak dilandaskan atas pengakuan keimanan semata-mata, melainkan diaplikasikan secara syar’i mengikuti kepastian cara mengamalkannya. Pedoman Allah Yang Maha Bijaksana ditulis dan dibaca oleh segenap kaum beriman pada Kitab-Nya yang mulia, Al-Qur’anul Karim. Adalah beliau Rasulullah saw. sebagai manusia pilihan menjelaskan dan mengikuti petunjuk-Nya untuk mengajak umat Islam dalam mengabdikan dirinya kepada Allah Yang Maha Pencipta melalui apa yang diucapkan dan diperbuat (Al-Hadits).

Sebagai umat beliau, kita yang terlahir kemudian berjuang untuk mendapati sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi-Nya. Bahwa Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Berkuasa mengutus beliau yang mulia untuk memperbaiki akhlak, dari amoral menjadi bermoral, dari jahil menjadi beradab, dari gelap menuju terang benderang. Kemuliaan terpilih sebagai core umatnya sehingga tampil menjadi umat yang berakhlaqul karimah, berdiri di atas ketulushatian sebagai hamba Allah Yang Maha Suci lagi Maha Mulia, berada di atas muka bumi tanpa kerusakan, menjadi kholifah di muka bumi sambil membawa panji-panji kemahabesaran Allah.

Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Berkuasa menghendaki agar kaum mukmin menjadi bertakwa dengan sebenar-benar bertakwa kepada-Nya. Ajakan, sekaligus perintah wajib yang mengikat ini, dibutuhkan perjuangan (jihad) yang bersungguh-sungguh tanpa merasa lelah dan letih (lesu). Predikat kemuliaan sang hamba sudah seharusnya demikian. Peraihan kedudukan (maqam) seperti itu mustahil dicapai jika tiadanya ketulusan hati untuk mengamalkannya.

Ketulushatian atau mukhlis dalam menunaikan kewajiban tercipta sekiranya kaum mukmin berserah diri. Mendahulukan kehendak Allah di atas keinginan hawa nafsu. Segala apa yang menjadi kehendak-Nya diikuti dan dipatuhi tanpa pembangkangan. “Sami’na wa atha’na.” Kami dengar dan kami taati. Kita bukan umat Yahudi yang telah mendengar tapi tak mau menaati.

Umat Rasulullah saw., karena itu, umat yang beruswatun hasanah mengikuti Nabi-Nya saw. Junjungan yang mulia dan dapat dipercaya (Al-Amin) adalah seorang figur yang tiada cela dan kenistaan. Mengikuti keutamaan akhlak beliau mendudukkan siapa pun terangkat sebagai seorang hamba mulia di sisi Allah Yang Maha Mulia. Peribadatan yang diajarkan beliau menjamin akan keutamaan bagi pelakunya. Dilemanya justru muncul ketika umat beliau tidak mampu mengikuti keutamaan tersebut. Pilihan untuk beruswatun hasanah dihadapkan oleh kebohongan sang penggoda dalam menyesatkan seorang hamba yang sedang beribadah kepada Allah Swt.

Alhasil, perkataan dan perbuatan umat Rasulullah saw. tidak berkiblat kepada Nabinya sendiri. Bahkan sebaliknya, beribadah seorang hamba disertai dengan cara-cara iblis laknatullah ‘alaih, yang seolah benar, padahal disesatkan. Kejahatan sang pembangkang telah diperlihatkan kepada kaum muslim sedemikian hingga umat Rasulullah yang mulia terlena akan kekuasaan iblis dalam menyesatkan dirinya.

Ajaran yang benar dari Rasulullah saw. untuk beribadah dibarengi dengan kejahatan sang iblis. Solat yang seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, justru dengan bangga bila setiap yang dilakukannya sekalipun jahat ketika mereka dapat menjalankan solat lima waktu. Lebih baik menjalankan perintah walaupun sedikit berbuat dosa. Klaim diri atas adanya keniscayaan berbuat salah bagi manusia diperkuat sehingga terbesit di dalam jiwanya, ”yang penting solat dan beristighfar.” Naudzu billahi min dzalik.

Justifikasi yang semacam itu tidak boleh dibiarkan. Umat Rasulullah saw. sudah seharusnya menyadari akan tipu daya iblis sang penggoda. Secara syar’i, solat harus dijalankan. Tetapi, hakikatnya juga tak boleh ditinggalkan. Syari’ah dan hakikat harus bersatu dalam menjalankan seluruh perintah Allah dan larangan-Nya. Antara yang hak dan yang batil tidak boleh dipersatukan.

Umat Rasulullah saw. berada pada keyakinan yang sama, bahwa tiada Tuhan kecuali Allah. Kalimat toyyibah ini mengandung kedalaman fungsionalitas dalam peribadatan, bukan sebatas di tataran pengakuan di lisannya (standar-lahiriyah). Menjadikan kedudukan seorang muslim beriman di dalam ketakwaan membutuhkan perjuangan yang bersungguh-sungguh. Menjalankannya akan berbuah amaliyah yang berkualitas. Keimanan sang hamba akan semakin meningkat menuju puncak keridoan Allah. Konsekuensinya adalah sang muslim sudah harus memulai untuk menempuh perjalanan menuju puncak keridoan tersebut. Inilah hakikat yang seharusnya diperjuangkan dalam beribadah kepada-Nya Yang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana.

Akal manusia yang belum memaklumi apa yang menjadi kehendak Allah atas dirinya akan berkata, bahwa peribadatan bukanlah seharusnya diperjuangkan dalam ketidakmampuan untuk memperjuangkannya. Batas-batas ketidakmampuan merupakan keniscayaan bagi umat manusia. Bukankah Allah tidak membebani hamba-Nya melampaui batas kemampuannya? Itulah klaim orang yang merendahkan dirinya sendiri karena malas untuk berjuang. Padahal jihad merupakan salah satu ukuran bagi lahirnya apresiasi Allah kepada seorang hamba yang jelas lemah tidak berdaya.

Ajakan untuk berjihad (berjuang) di jalan Allah tak terbantahkan. Kedudukan mulia tidak dapat diraih dengan klaim-klaim ketidakmampuan. Puncak keimanan seorang hamba berada pada kemampuan memperjuangkan predikat takwa yang dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Untuk memperjuangkannya membutuhkan keistiqamahan. Tak ada waktu sedikit pun untuk membiarkan diri dari mengingat Allah Yang Maha Pencipta.

Kerinduan kepada-Nya diwujudkan dengan kecintaan kepada-Nya tanpa merasa lelah dan lesu berjuang meraih cinta-Nya. Bukankah manusia telah berjuang untuk meraih cinta kepada sesamanya sebagai sang kekasih? Patutkah kepada-Nya yang telah menghidupkan dan menganugerahkan pemberian-Nya dibalas dengan sekedarnya? Di manakah rasa cinta seorang hamba kepada Tuhannya? Mengklaim ketidakmampuan menjauhkan diri beroleh kecintaan dari-Nya.

Ajakan Berthoriqah: Ajakan Kepastian


Apa maknanya? Sub judul ini menjadi bermakna sekiranya mengerti keutamaan berthoriqah. Pengetahuan thoriqah adalah kepintaran seorang hamba memuji Allah Yang Maha Mulia di ‘Arasy-Nya ketika dia menempuh perjalanan menuju kepada-Nya. Allah disebut-sebut di hatinya seraya mengikuti dengan setulus hati apa yang telah ditetapkan oleh Allah atas perintah dan larangan-Nya.

Ahli thoriqah adalah para penempuh jalan yang telah ditetapkan tujuan dan arahnya saat gairah hatinya demikian menggebu ingin berjumpa menemui Dia yang dirindukan. Hakikat ibadah telah mendarah daging dalam pelaksanaan syari’ah yang dilandaskan pada ketulusan hatinya. Lelah dan lesu menipis, bahkan menjadi semakin menguat, ketika melaksanakan kewajiban kepada-Nya. Beban berat pun terasa semakin berubah menjadi nikmat yang tak terbayangkan oleh keterbatasan akal.

Oleh karena itu, ajakan berthoriqah merupakan ajakan kepastian karena telah jelas tujan yang hendak dicapai dalam menempuh perjalanan yang akan diperolehnya sesudah itu: “Berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla.” Adakah seorang hamba dapat menemui Tuhannya? Adakah bahwa Musa a.s tak sanggup menemui-Nya, tetapi umat Rasulullah saw. akan mampu menemui-Nya?

Al-Qur’an telah sangat jelas mengisahkan Nabi Musa a.s saat dia memohon kepada Allah Yang Maha Mulia untuk menampakkan-Nya di alam realitas. Maka, Allah pun berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al-A’raaf: 143).

Ajakan berthoriqah tidak seperti yang pernah dimohonkan Musa a.s. Umat Rasulullah saw. diajak untuk menjumpai-Nya di ‘Arasy-Nya, bukan di alam realitas (tampak). Allah Yang Maha Mulia sangat menyayangi hamba-hamba-Nya yang tak pernah lelah dan lesu berkhidmat mengikuti perintah dan larangan-Nya. Salah satu apresiasi Allah kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. di ayat 110 surat Al-Kahfi: “Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."

Maka, ajakan berthoriqah bukanlah ajakan kepada perjuangan menuju jalan yang dimurkai dan disesatkan. Naudzu billahi min dzalik. Adapun dalam rentang waktu yang sedemikian panjang menempuh perjalanan, sang penggoda selalu saja berupaya untuk menghalangi, menggoda, menjebak, menakut-nakuti, bahkan melakukan penyerangan, faktor penentu sesungguhnya terletak pada keistiqamahan seorang salik sendiri. Al-Qur’an yang mulia telah menjelaskan bahwa iblis takkan pernah diam untuk menyesatkan anak cucu Adam a.s. Akan tetapi, Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana telah memberi kepastian akan perlindungan-Nya ketika sang salik berketetapan hati untuk terus melangkah dengan bersandarkan kepada ketulushatian (ikhlas) dalam berthoriqah.

Perkataan iblis telah ditulis di dalam Al-Qur’an: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, (QS. Al-Hijr: 39).

Perubahan yang akan dilakukan oleh janji iblis di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana apabila seorang hamba berjuang dengan penuh keikhlasan. Maka, iblis pun berkata: “kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka" (QS. Al-Hijr: 40).

Kekasih Allah adalah orang-orang beriman yang terus menerus bertakwa. Perbuatannya sangat menyenangkan bagi orang-orang di sekitarnya. Menilai perbuatan orang-orang yang dikasihi Allah takkan dapat dilihat hanya dari satu sisi. Keahliannya bukanlah karena diraih dengan sendirinya, melainkan diajarkan oleh Allah ke dalam hatinya. Allah Yang Maha Mulia sangat mencintai juga menyayanginya. Pelajaran orang-orang yang dikasihi dan dicintai Allah adalah menguji dengan ketulushatian (ikhlas) dalam beribadah.

Pentingnya berthoriqah diarahkan agar setiap hamba menunjukkan rasa cinta kepada Allah tanpa merasa lelah dan lesu. Pelabuhan cinta ada di ‘Arasy-Nya. Maka, bagi siapa pun yang dapat mencapai pelabuhan itu, dia berhak meraih cinta-Nya. Pulau asmara yang tak terjangkau oleh mata memandang dirasakan keberadaannya oleh seorang hamba yang diperkenankan hadir ke pulau-Nya. Pilihan seorang hamba untuk mendapati cinta-Nya bukanlah tak mungkin dapat meraihnya.

Berthoriqah memungkinkan peraihan cinta dapat tercapai. Allah mustahil dijumpai bila tidak ada perjuangan dan rasa cinta. Pengakuan sebagai mukmin harus dibuktikan dengan rasa cinta kepada-Nya secara tulus hati tanpa keterpaksaan. Pecinta sangat perhatian kepada yang dicintainya. Jika ada seorang hamba beribadah kepada Allah tanpa rasa cinta, maka ibarat sayur tanpa garam. Tak terasa (hambar).

Oleh karena itu, menempuh perjalanan untuk meraih cinta Allah takkan dapat dicapai bila tiadanya keikhlasan (mukhlis). Ketulushatian dalam beribadah berarti meletakkan hawa nafsunya sendiri di tempat yang jauh dari dirinya, sebaliknya mendahulukan apa yang menjadi kehendak Allah tanpa keterpaksaan. Alhasil, perjalanan menuju kepada Allah harus dilandaskan kepada ketulushatian. Dengan ikhlas dalam beribadah untuk mendekati-Nya melalui perjalanan (thoriqah), maka Allah pun rido membimbing dan mendekati hamba-Nya. Alangkah nikmat dan bahagianya saat dia (sang hamba) dijumpai Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana yang dirindukannya selama itu (dalam berthoriqah). [ ]
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner