-->

Translate This Blog

2.7.11

Perjalanan Nabi Mulia Menuju Tuhannya

Peristiwa Isra' Mi'raj

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. Al-Israa’ : 1).

Ada Pelajaran yang Dapat Diambil dari Perjalanan Nabi Saaw


Peristiwa yang dikenal oleh kaum muslim sebagai Isra’ Mi’raj (Perjalanan dari Masjid ke Masjid-Nya menuju ke hadirat-Nya) ini merupakan tonggak sejarah diperintahkan atas kaum muslim mendirikan solat (lima waktu). Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan tanda-tanda (kebesaran)-Nya, yang Allah Swt tidak menjelaskan secara rinci pada ayat ini, kecuali hanya kepada Baginda Nabiuna Muhammad Saaw. Maka, bagi kaum yang mengimaninya, peristiwa tersebut pasti benar adanya tanpa ragu.

Ayat ini diawali dengan menyatakan akan kesucian Allah sebagai Tuhan Yang Maha Benar tanpa suatu dusta (palsu). Dusta adalah sebuah sifat yang dikenakan kepada mereka yang senang terhadap hal-hal yang sangat tidak suci (kotor). Pernyataan atas diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Suci telah memastikan akan kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj berlangsung bagi Nabi-Nya Saaw.

Allah Swt telah mempertegas kepada kaum beriman bahwa Dia memperlihatkan tanda-tanda (kebesaran-Nya) di sekitar kedua Masjid Allah tersebut. Karena itu, kedua Masjid tersebut benar-benar dapat memberkahi bagi siapa pun yang berada di sekelilingnya (hadir di kedua Masjid tersebut, yaitu Masjidilharam dan Masjidilaqsha). Adakah keberkahan yang dimaksud akan mempengaruhi kejiwaan seseorang yang hadir di sana?

Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan Yang Selalu Menepati Janji-Nya mustahil perkataan-Nya adalah dusta. Kepastian akan kebenaran ayat-ayat-Nya telah disebutkan oleh Allah sebagai “la roiba fiih,” tak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Artinya, Allah Swt benar-benar memberkahinya. Semacam apakah keberkahan itu berlangsung kepada kaum mukmin yang berada di situ?

Berkah (baroka) artinya berfaedah. Faedah atau manfaat yang dapat diperoleh dari hadirnya di kedua Masjid itu disebabkan Allah Azza wa Jalla sangat mencintainya (dua Masjid tersebut). Apa dan siapa pun yang dicintai Allah Yang Maha Mulia, maka orang-orang yang berada di sekitarnya (Masjid) atau bersamanya (hamba-Nya), mereka akan memperoleh kemanfaatan (dari cahaya yang dipancarkan Allah atas apa pun dan siapa pun itu) pada dirinya.

Adakah sesudah mendapati “keberkahan” tersebut mereka dapat berubah (secara kejiwaan)? Cahaya Allah adalah ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Maka, bagi siapa pun yang menerimanya, sekalipun melalui perantaraan dari yang mendapati cahaya-Nya secara langsung (baik merupakan suatu tempat atau seseorang), akan mempengaruhi suasana kejiwaannya.

Ajib atau luar biasa bagi sebutan atas sebuah peristiwa yang sangat sulit dicerna oleh akal sehat, akan tetapi benar-benar nyata terjadi. Hubungan antara seseorang yang beriman kepada Allah dengan peraihan berkah disebabkan karena hadirnya di suatu “Tempat Yang Dicintai-Nya” atau “Hadir bersama kekasih-Nya di setiap kesempatan” benar-benar mempersulit akal untuk menjangkaunya sekiranya bukan dengan hati bersihnya.

Inilah sesungguhnya yang hendak diberitakan oleh Allah Swt kepada kaum beriman dari suatu peristiwa Isra’ Mi’raj. Kisah Al-Qur’an mengenai Perjalanan Nabi mulia Saaw dari dan ke “Masjid Yang Dimuliakan” (yang selanjutnya beliau Saaw menempuh perjalanan menghadap kepada Dia Yang Maha Mulia di hadirat-Nya menerima perintah mendirikan solat untuk umatnya) dapat diambil pelajaran yang sangat berharga bagi siapa pun yang mau memikirkannya.


Pelajaran Pertama: Manusia Sangat Bergantung Kepada Kemahabesaran Allah Yang Maha Perkasa


Allah Azza wa Jalla adalah Dia Yang Kekuasaan-Nya sangat mutlak berlaku bagi siapa pun hamba-Nya yang dikehendaki Allah memperoleh kemuliaan (keutamaan). Nabiuna Muhammad Saaw adalah seorang manusia (basyar) yang telah mendapati kemuliaan atas dirinya dari Dia (Allah) Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Allah Swt telah memilihnya dengan kehendak-Nya sendiri mendudukkan beliau sebagai Utusan (Rasul)-Nya untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada segenap umat manusia.

Allah Azza wa Jalla atas kekuasaan-Nya telah memperjalankan (secara jasadi) beliau sebagai wujud nyata atas kemahabesaran-Nya. “Memperjalankan” adalah suatu perbuatan Allah Azza wa Jalla dengan kekuasaan-Nya mengantarkan beliau (jasadnya utuh) dari suatu Masjid (di Arab yang dikenal Masjidilharam) menuju ke Masjid yang lain (di Yerussalem Palestina dengan sebutan Masjidilaqsha) sebagai suatu tanda-tanda atas kemahabesaran-Nya terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Allah Azza wa Jalla secara terang-terangan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya itu kepada Nabi-Nya agar menjadi bukti nyata ada-Nya Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Kejadian seperti ini adalah mudah bagi Allah untuk diperbuatnya.

Pengetahuan atas suatu keajaiban dalam pandangan manusia telah diperlihatkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Saaw. Adakah dengan peristiwa tersebut umat manusia bertambah keyakinannya akan kebenaran ayat-ayat Allah? Manusia sebagai makhluk Allah yang dimuliakan daripada makhluk-makhluk lain yang telah Dia ciptakan ternyata ada yang mengimani-Nya dan ada juga yang kafir (ingkar) akan kebenaran ayat-ayat-Nya.

Bagi Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, tentu saja, memiliki ketentuan-ketentuan yang pasti diberlakukan kepada manusia yang tidak mengimani-Nya. Keimanan seseorang terhadap ayat-ayat Allah yang telah dibacakan oleh Rasul-Nya sangat bergantung pada derajat kedekatannya dengan Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Perkasa. Dekat bermakna berada bersama-Nya tidak jauh, yang dengan begitu, akan menjadikan (orang yang dekat) bertambah yakin akan keberadaan-Nya.

Allah Swt telah memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya untuk diimani oleh kaum mukmin dengan sebenar-benarnya, bukan sekedar diketahui oleh akalnya, melainkan dengan hatinya. Tertutuplah keyakinan seseorang yang hatinya tidak bercahaya karena akalnya tidak mendudukkan di bawah kebijaksanaan hatinya.

Peristiwa Isra’ Mi’raj bukan sebatas menjadi sebuah tonggak peringatan bagi kaum beriman untuk dikenang, melainkan diaplikasikan dalam kehidupan di dunia. Jika Allah Azza wa Jalla telah “Memperjalankan” Nabi-Nya untuk menerima pesan-pesan keilahian, maka sepatutnya bagi umatnya juga meneladaninya dengan cara bergantung sepenuhnya kepada kemahabesan Allah untuk juga “Diperjalankan” dapat menemui-Nya.

Menemui-Nya? Ya, saya berkata demikian karena Dia (Allah) juga menawarkan, melalui Rasul-Nya, kepada kaum beriman yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya. Sekalipun peristiwanya tidak akan terjadi sebagaimana Nabi-Nya, yang telah saya sampaikan di atas, setidaknya proses yang serupa dapat dialami dalam bentuk “Perjalanan Ruhani” bukan “Perjalanan Jasadi”. Jasad kita bisa saja tetap berada di tempat kita berada, tetapi ruh (aku yang sesungguhnya) melakukan perjalanan yang ditolong oleh Allah untuk menemui-Nya di ‘Arasy-Nya.

قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا

“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya" (Q.S. Al-Kahfi : 110).

Hakikat dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah meneladani apa yang sesungguhnya telah dilalui oleh Rasulullah Saaw. Pengalaman istimewa yang dialami oleh Baginda Muhammad Saaw seakan ditunjukkan kepada orang-orang beriman agar melakukan perjalanan menuju kepada Tuhannya, Dia lah Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Hanya karena kemahabijaksanaan-Nya semua dapat terjadi.

Kebijaksanaan Allah melandasi atas kemusykilan dari jangkauan akal yang sangat terbatas. Cara apa pun yang dilakukan oleh manusia sangat bergantung dari kemahabijaksanaan-Nya. Sekiranya bukan karena Allah Maha Bijaksana, maka kaum kafir sudah dihancurkan dari bumi ini. Dengan menyandarkan kepada kemahabijaksaan-Nya, kita sangat mendambakan dapat menempuh perjalanan menuju kepada-Nya. Dengan kata lain, tak ada seorang makhluk pun yang tidak bergantung kepada-Nya. Dia lah Allah tempat bergantung segala sesuatu.


Pelajaran Kedua: Dirikanlah Solat Lima Waktu Sebagaimana yang Dikehendaki Allah


Allah Azza wa Jalla telah “Memperjalankan” hamba-Nya (Rasulullah Saaw) dalam hal ini untuk membawa pesan keilahian: “Dirikanlah Solat Lima Waktu.” Istilah “Dirikanlah Solat” sungguh sangat berbeda dengan “Laksanakanlah Solat”. Istilah ini (laksanakanlah solat) hanya sebatas menjalankan sebagaimana yang diperlihatkan oleh Baginda Nabiuna Muhammad yang mulia Saaw (semoga Allah senantiasa merahmati kepada beliau dan keluarganya): “Shollu kama roitumuni usholli,” solatlah sebagaimana aku solat. Para sahabat beliau telah menyaksikan bagaimana bacaan dan gerakan solat beliau. Ini adalah syari’ah (hukum yang melandasi pelaksanaan solat) yang wajib diikuti oleh kaum muslim.

Hanya saja, ketika Nabi melaksanakan solat (yang dapat dilihat) tidak secara sama di setiap kesempatan gerakan (bahkan juga bacaannya) oleh para sahabatnya. Inilah yang melahirkan terjadinya perbedaan dari masing-masing sahabat yang menyaksikannya. Ikhtilaf atau khilafiyah seperti itu tidaklah mendeskreditkan Nabi yang mulia dalam pelaksanaan solat. Apa pun yang dapat disaksikan (sebagaimana beliau solat) sebetulnya sah-sah saja sekiranya hanya ada satu kesempatan mengikuti cara solat sebagaimana Nabinya solat. Beliau hanya mengatakan “Solatlah sebagaimana aku solat.” Jika terjadi perbedaan, maka begitulah pelaksanaan solat. Masing-masing sahabat tidak menyoal perbedaan saat beliau menegaskan atas pelaksanaan solat yang telah beliau lakukan. Perbedaan justru diketahui oleh umatnya setelah beliau wafat dan yang lahir kemudian, yang tidak hadir bersamanya (Rasulullah Saaw).

Sementara itu, perintah (fi’il amar) Allah Azza wa Jalla dengan menggunakan kata “Aqimish shalah,” atau diterjemahkan sebagai “Dirikanlah Solat” yang dapat ditemui di 17 (tujuh belas) ayat-ayat-Nya (Q.S. 2 : 43, 83, 110; 4 : 77, 103; 11 : 114; 17 : 78; 20 : 14; 22 : 78; 24 : 56; 29: 45; 30 : 31; 31 : 37; 33 : 33; 58 : 13; 73 : 20; 108 : 2) sangat jelas berbeda dari sebatas melaksanakannya.

Perintah “Dirikanlah solat” bukanlah suatu perintah hanya sekedar mengerjakan solat, melainkan “membangun” kedudukan hati di dalam Kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta. Mendirikan bermakna mengokohkan suatu “bangunan” keimanan seorang hamba sehingga terasa sangat kuat akan keyakinan hatinya atas keberadaan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Mengetahui.

“Dirikanlah solat,” dengan demikian, merupakan perintah Allah Swt kepada kaum beriman agar sungguh-sungguh berdiri untuk menghadap ke hadirat Allah Azza wa Jalla sehingga benar-benar dapat merasakan kehadiran-Nya. “Merasakan” kehadiran-Nya berarti bahwa pelaku solat benar-benar khusyu’ bahwa diri (nya) sedang menyembah Allah Yang Maha Berkuasa.

Untuk mencapai solat khusyu’ bukan perkara mudah dalam pelaksanaannya, selain membutuhkan keikhlasan dalam hati bahwa diri (nya) hanyalah makhluk yang lemah tak berdaya, sedangkan Dia (Allah) Maha Kuasa lagi Maha Perkasa. Dengan keikhlasan hati untuk merendahkan diri (menghamba) di hadapan kemahabesaran-Nya, maka sesungguhnya kita sangat tidak kuasa atas apa pun selain membutuhkan akan pertolongan-Nya.

Keikhlasan kita sebagai seorang hamba sangat berpengaruh terhadap posisi kita sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah untuk senantiasa menggantungkan segala sesuatu hanya kepada-Nya. Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana pasti Mengetahui keberadaan hati kita sehingga Dia pun rido (ikhlas) menerima keberadaan kita sebagai hamba-Nya. Keridoan Allah lah yang sangat didambakan untuk menerima solat (penghambaan) kita kepada-Nya. Dalam kondisi solat semacam inilah yang sangat dirasakan “lezatnya” berhubungan dengan Allah Yang Maha Pencipta. “Lezat” adalah ungkapan kenikmatan seorang hamba di dalam solatnya karena dia benar-benar begitu merasakan sangat dekatnya kehadiran Allah di hati.

Derajat solat seperti itu akan mengantarkan seorang hamba untuk senantiasa merasakan takut apabila dia berbuat tidak sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, juga merasakan takut sekiranya dia melanggar dari apa pun yang dilarang-Nya. Solat yang seperti inilah yang disebut dengan “Mendirikan solat,” sebagaimana yang dikehendaki Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Oleh karena itu, Allah Swt dengan kasih sayang-Nya pasti akan “Memperjalankan” hamba-Nya yang solatnya ditunaikan secara khusyu’ ke hadirat-Nya. Hadirat adalah sebutan untuk menunjukkan akan keberadaan-Nya sebagai Dia Yang Maha Berkuasa. Allah adalah Zat yang tidak sebagaimana makhluk ciptaan-Nya. Dia (Allah) tidak dibatasi keberadaan-Nya oleh suatu arah atau tempat sebagaimana keberadaan makhluk-Nya. Dia (Allah) wujud di dalam kemahakuasaan-Nya. Tidak dapat dibayangkan dan tidak juga dapat dikhayalkan eksistensi-Nya.


Andaikan Diriku Diperjalankan Bersama Manusia Pilihan

Ini hanya diandaikan bukan sungguhan
Juga bukanlah khayalan
Akan tetapi lebih merupakan sebuah ungkapan kegembiraan
Karena Nabi mulia benar-benar telah Diperjalankan

Andaikan diriku benar-benar Diperjalankan
Sesungguhnya Allah lah Yang Memuliakan
Bukan karena diriku yang sangat mengharapkan
Nabi akhir zaman sungguh manusia pilihan sangat dirindukan kaum beriman

Andaikan diriku Diperjalankan bersama beliau manusia pilihan
Maka pasti dimuliakan oleh Allah Sang Penguasa Alam
Juga dirindukan oleh banyak kalangan
Namun demikian diriku hanya sebatas mengandaikan, tidak mengkhayalkan

Andaikan tidak ada pilihan tentu diriku hanya bisa merindukan
Sungguh hampir tak terpikirkan bahwa ada tawaran yang membahagiakan
Barang siapa berharap perjumpaan dengan Tuhan
Telah difirmankan agar beramal soleh dan tidak syirik dalam peribadatan

Andaikan tidak bergegas mempersiapkan untuk perjumpaan
Rugilah membuang-buang kesempatan
Diperjalankan dengan manusia pilihan tak mungkin dikhayalkan,
Ada tawaran dibiarkan

Inilah kesempatan yang mengharukan bagi yang sangat mengharapkan
Biarkan manusia pilihan telah Diperjalankan sebagaimana difirmankan
Kaum beriman kini tak perlu ketinggalan
Meraih kesempatan yang sudah ditawarkan


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner