Translate This Blog

5.10.18

Akhir Kehidupan Umat Manusia

Akhir Kehidupan Umat Manusia

Puncak dari segala keinginan umat manusia di alam dunia berakhir dengan kematian. Itulah yang disebut akhir kehidupan umat manusia. Apa pun keinginannya, maka tak ada seorang pun yang dapat menghindar dari kematian.

Akhir kehidupan adalah sunatullah. Allah Yang Maha Pencipta telah berketetapan bahwa hidup di dunia bukanlah tempat akhir persinggahan umat manusia selain hanya merupakan persinggahan sementara. Kehidupan yang sesungguhnya adalah di akhirat. Sambil menanti datangnya Hari Kiamat, alam barzakh adalah tempat persinggahan antar waktu bagi arwah manusia!

Perjalanan hidup umat manusia di alam dunia telah ditetapkan ajalnya. Maka, apabila telah datang ajal menghampirinya, tak ada satu pun yang dapat mengundurkannya sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya. Allah Swt telah berfirman:

قل لا أملك لنفسي ضرا ولا نفعا إلا ما شاء الله لكل أمة أجل إذا جاء أجلهم فلا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون

“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah." Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya)” (QS. Yunus : 49).

Ajal adalah batas waktu kehidupan umat manusia yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Berkuasa. Karena itu, tak ada seorang pun yang berkuasa menolak batas waktu tersebut. Bahkan dengan kemudaratan dan kemanfaatan pun umat manusia tidak memiliki kekuasaan untuk mendatangkannya kepada dirinya sendiri, melainkan apa yang dikehendaki Allah.

Manusia Tidak Berkuasa


Sudah sangat jelas, dari ayat di atas, umat manusia takkan mampu mendatangkan kemudaratan dan kemanfaatan apabila tidak dengan kehendak Allah Yang Maha Berkuasa. Mengapa? Allah Yang Maha Pencipta telah menghadirkan umat manusia atas kehendak-Nya bukan atas keinginan umat manusia sendiri. Karena itu, apa pun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan apa yang diinginkan umat manusia akan dapat terjadi apabila Allah menghendakinya.

Itulah sebabnya umat manusia tak memiliki kekuasaan untuk mendatangkan kemudaratan dan kemanfaatan selain dengan kehendak-Nya. Hanya dengan kehendak-Nya, keinginan umat manusia dapat terpenuhi. Artinya, apabila mendahulukan kehendak Allah, Dia (Allah) pasti mampu memenuhi keinginan umat manusia yang bermanfaat bagi dirinya.

Sebaliknya, jika umat manusia mendahulukan keinginannya, maka mustahil umat manusia dapat memenuhi kehendak Allah melainkan akan menghasilkan sejalan dengan kecenderungan nafsunya. Sedangkan nafsu yang tidak dirahmati oleh Allah selalu mengajak kepada kejahatan. Allah Yang Maha Mulia dengan tegas berfirman:

وما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي غفور رحيم

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf : 53).

Adakah kini kaum mukmin yang mengklaim bahwa dirinya dapat mendatangkan kemanfaatan atas seluruh keinginan berbuat kebaikan sedangkan dia tidak memahami apa yang dikehendaki Allah pada dirinya? Sekiranya ada, klaim semacam itu bukanlah cermin dari dirinya yang sejati, akan tetapi refleksi hawa nafsunya.

Banyaknya keinginan yang datang dari dirinya, sekali pun sepertinya baik, tanpa dirahmati Allah (tanpa mengikuti kehendak-Nya) selalu menyuruh kepada kejahatan (kemudaratan). Jadi, bukan karena keinginan manusia untuk berbuat baik akan menjamin datangnya kemanfaatan kepada dirinya, melainkan Allah-lah yang menghendakinya. Demikian juga dengan keinginan untuk berbuat jahat, jika Allah tidak menghendaki, maka kejahatan itu tidak akan terjadi.

Sedangkan kehendak Allah, di sisi yang lain, pasti mengandung kemanfaatan (naf’an) atas diri-Nya. Maka, apabila keinginan diri (manusia) sebagai makhluk Allah tidak sejalan dengan kehendak-Nya (Allah), pasti selalu diakhiri dengan kemudaratan (dhorron). Mengapa dapat terjadi seperti itu? Karena manusia tidak berkuasa mendatangkan kemanfaatan kepada dirinya.

Dengan demikian, mengabaikan kehendak Allah dapat melahirkan kemudaratan dan mengikuti-Nya dapat memunculkan nilai-nilai keberkahan (kemanfaatan) baik bagi dirinya maupun orang lain.

Tetapi, bagaimanakah jika keinginan itu telah disesuaian dengan perintah Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saaw? Bukankah perintah Allah itu merupakan kehendak Allah? Pertanyaan seperti ini seolah-olah telah dianggap menjadi alasan yang tepat untuk membenarkan munculnya keinginan diri (nafs) manusia karena telah dianggap sejalan dengan kehendak Allah. Padahal, sesungguhnya pertanyaan semacam itu tidak benar. Berikut ini saya akan menjelaskan kekeliruan dari berpikir manusia yang telah berbuat pembenaran diri (justifikasi) dengan alasan logisnya.

Keinginan diri (nafs) jelas berbeda dengan kehendak Allah Yang Maha Mulia. Manusia yang diri (nafs)-nya belum diberi rahmat oleh Allah pasti selalu mengajak kejahatan. Ini statement (pernyataan) Allah yang pasti benar-Nya (Allah benar-benar benar atau Allah itu adalah Tuhan Yang Maha Benar dari setiap perkataan-Nya). Karena itu, berlakulah kepastian kebenaran firman-Nya.

Dengan keterangan ini, maka apabila ada seseorang memiliki keinginan untuk berbuat baik, berdakwah misalnya, sedangkan dia belum diberi rahmat oleh Allah di dalam dirinya (jiwanya atau hatinya atau ruhnya) pastilah kemudaratan hasilnya, bukan kemanfaatan.

Alasannya sudah sangat jelas, bahwa Yusuf as, yang adalah seorang Nabi Allah sekali pun, beliau mengatakan tidak dapat melepaskan kesalahan atas dirinya sendiri jika tidak karena Allah Yang Maha Mulia telah mencurahkan rahmat ke dalam dirinya. Ini adalah ayat yang mengisahkan beliau (Nabi Yusuf as.) saat digoda oleh seorang istri orang lain (Siti Zulaeha), namun karena Allah Yang Maha Suci telah menyucikan jiwanya (dirinya atau hatinya atau ruhnya), rayuan iblis melalui Zulaeha tidak ditanggapi.

Pertanyaan saya sekarang adalah adakah seorang da’i yang menyampaikan nilai-nilai kebenaran telah terbebas dari kesalahan atas dirinya jika tidak ditolong oleh Allah? Kepastian jawaban atas pertanyaan ini adalah mustahil dapat melepaskan kesalahan atas dirinya jika ceramahnya mengikuti keinginannya, tidak menyandarkan kepada kehendak Allah.

Akan tetapi, boleh jadi ada sebuah penyangkalan, bagaimana nilai-nilai kebenaran dapat tersebar jika tidak ada yang berdakwah (dari para da’i)? Klaim ini tentu boleh-boleh saja mengemuka. Namun, saya akan balik bertanya, siapakah yang menetapkan seseorang telah diperkenankan untuk berdakwah? Dewan juri dari suatu lomba dakwah? Atau klaim diri yang menganggap telah ‘mampu’ menyuarakan nilai-nilai kebenaran? Sesederhana itukah nilai-nilai kebenaran diusung ke permukaan, sedangkan yang mengusung belum mencapai derajat yang diperkenankan oleh Allah? Adakah setiap orang yang sudah beriman dan capable dalam keilmuan lahiriah (yang disandarkan dari apa yang telah dipelajari oleh otaknya) dianggap oleh dirinya atau orang lain sudah dianggap telah diperkenankan oleh Allah?

Memperhatikan Diri Mengenal Kehendak Allah


Sebetulnya itulah permasalahan besar yang muncul di abad ini. Banyak orang yang mengklaim dirinya telah dipandang ‘mampu’ berbuat atas dasar keinginannya sendiri, bukan atas kehendak Allah Yang Maha Berkuasa. Kebanyakan kaum mukmin belum mengetahui kehendak Allah yang ada pada dirinya (jiwanya atau hatinya atau ruhnya). Bagaimana kaum mukmin akan mengenal Allah sedangkan dia belum mengenal dirinya sendiri?

Pengabaian akan diri (jiwa atau hati atau ruh) menyebabkan kaum mukmin tidak mengenal kehendak Allah atas dirinya sebagai seorang hamba Allah. Perhatian kepada keinginan akalnya jauh lebih diperhatikan.

Diri atau jiwa atau hati atau ruh sesungguhnya adalah perwujudan manusia di dunia yang tak tampak. Sedangkan perwujudan di dunia tampak diwakilkan oleh jasmaninya (jasad manusia). Akal manusia ada bersama di dalam otaknya, yang adalah bagian dari organ-organ jasad atau tubuh manusia yang mendominasi keberadaan manusia di dunia tampak (lahir).

Keduanya (jasmani dan ruhani) diciptakan Allah berpadu dalam keberadaan manusia di dunia lahir. Artinya, Allah sesungguhnya telah menjadikan keduanya untuk saling bersinergi. Akal digunakan untuk berpikir (analitis dan kontemplatif), sedangkan ruh atau diri atau hati atau jiwa telah diikat perjanjian oleh Allah untuk beriman kepada-Nya. “Kami dengar dan kami taati.”

Allah Yang Maha Pencipta telah menjelaskan keduanya di dalam Al-Qur’an. Diturunkan Al-Qur’an ke dunia tampak (lahir) dimaksudkan agar dapat diketahui oleh akal manusia, khususnya kaum mukmin, mengenai perkataan-perkataan Allah (kalimat-kalimat-Nya). Apa yang telah diketahui oleh akal, selanjutnya diserahkan kepada hati untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya.

Konsekuensi dari apa yang telah diketahuinya tidak boleh diabaikan. Jika hati atau diri atau jiwa atau ruh diperintahkan untuk menyebut atau mengingat Allah, maka akal (yang mengetahui perintah itu di dalam Al-Qur’an) tidak boleh membiarkan hati melalaikan tugasnya tersebut. Kepada kaum mukmin, Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:

واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raaf : 205).

Jika akal telah mengetahui perintah Allah yang disebut pada ayat di atas tidak segera mengajari hatinya untuk memenuhi ketaatan kepada Allah, maka akal telah membiarkan (melalaikan) hati atau diri atau jiwa atau ruh dari perjanjian yang telah diikat kuat oleh Allah.

واذكروا نعمة الله عليكم وميثاقه الذي واثقكم به إذ قلتم سمعنا وأطعنا واتقوا الله إن الله عليم بذات الصدور

“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: "Kami dengar dan kami taati". Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati (mu)” (QS. Al-Maidah : 7).

Hati atau diri atau jiwa atau ruh yang melalaikan perintah Allah untuk menyebut asma-Nya karena akal mengabaikan perintah-Nya, maka hati atau diri atau jiwa atau ruh akan dibisiki oleh kejahatan setan yang biasa bersembunyi ke dalam dada manusia dari golongan jin dan manusia (lihat QS. An-Nas : 4 – 6).

Kepada kaum mukmin yang akalnya cerdas tetapi tidak mengajari hati untuk berdzikir, iblis membuktikan kebenaran persangkaan (dugaan-dugaannya). Allah Yang Maha Mengetahui berfirman:

ولقد صدق عليهم إبليس ظنه فاتبعوه إلا فريقا من المؤمنين

“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman” (QS. Saba’ : 20).

Orang-orang beriman yang dimaksud ayat di atas adalah mereka yang telah dengan sungguh-sungguh berketetapan hati mengikuti perintah dan larangan Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Karena itu, betapa pun seseorang telah mengaku beriman, apabila hanya sebatas pengakuan disertai tidak bersungguh-sungguh penuh khidmat dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya, maka kualitas keimanannya baru sampai pada apa yang telah dipelajari secara syar’i. Belum mencapai derajat menurut hakikatnya.

Allah Azza wa Jalla menghendaki kaum mukmin menjadi orang bertakwa sebenar-benar bertakwa kepada-Nya. Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-Qur’an Allah Yang Maha Mulia memerintahkan kaum mukmin hanya sebatas beriman, melainkan harus beramal soleh. Orang beriman harus berbuat kebajikan atau beramal soleh. Orang yang beriman lagi beramal soleh, dia adalah orang takwa.

Ciri orang beriman yang telah mencapai derajat takwa setidaknya telah dapat menjalankan solat dengan khusyu’, tidak malas ketika berdiri menghadap Allah, solatnya tidak dijalankan untuk pamer kepada orang lain (riya) dan bila berdzikir tidak sedikit. Orang takwa berbeda dengan orang munafik.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

إن المنافقين يخادعون الله وهو خادعهم وإذا قاموا إلى الصلاة قاموا كسالى يرآؤون الناس ولا يذكرون الله إلا قليلا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An-Nisa : 142).

Apa yang dijelaskan Allah pada ayat di atas, sesungguhnya Dia (Allah) menghendaki kesempurnaan dalam beribadah kepada-Nya, bukan asal-asalan, melainkan dengan sungguh-sungguh penuh khidmat. Jika tidak mau dibalas oleh Allah sebagai orang munafik, maka seharusnya seorang muslim memperhatikan ayat ini:

يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri (muslim)” (QS. Ali Imron : 102).

Itulah yang dikehendaki oleh Allah Yang Maha Mulia atas kaum mukmin. Kesungguhan, bukan main-main, yang dikehendaki Allah. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kaum mukmin agar mencari jalan (wasilah) dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Membutuhkan perjuangan tanpa merasa lelah dan putus asa dalam menjalankannya.

يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة وجاهدوا في سبيله لعلكم تفلحون

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al-Maidah : 35).

Allah Azza wa Jalla telah menunjukkan jalan-jalan-Nya sebagai wasilah atau perantaraan untuk menuju kepada-Nya (menjadi dekat dengan Allah). Kedekatan diri tidak sama dengan kedekatan fisik jasmani. Mustahil kita dapat dekat dengan Allah secara lahiriah. Mendekatkan diri bermakna berjuang dengan perantaraan orang-orang yang telah menemukan jalan Allah dan mereka telah diberi nikmat, agar ruhani (bukan jasmani) kita tidak jauh dari Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Adakah Allah Yang Maha Bijaksana akan membiarkan begitu saja orang-orang yang beriman tanpa diajarkan cara untuk mendekati-Nya? Allah sungguh Maha Penyayang kepada orang-orang yang telah beriman kepada-Nya disertai dengan beramal soleh!

Kaum soleh adalah mereka yang dengan sungguh-sungguh mendapati jalan Allah sebagaimana orang-orang terdahulu (salafush shalih) yang telah mendapatkannya. Siapakah salafush shalih itu? Mereka adalah para Nabi, waliullah, siddiqin pada setiap zaman (periode saat tidak ada lagi Nabi setelah Nabiuna yang mulia Muhammad Al-Musthafa Saaw)!

Adakah kaum soleh saat ini (di era informasi) yang kondisinya sangat jauh berbeda dengan zaman saat salafush shalih hidup? Kesolehan sangat terkait dengan kesungguhan dalam berjuang mendekatkan diri (jiwa atau hati atau ruh) kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Nilai-nilai perjuangan yang diusung kaum soleh dilandaskan atas dasar kebutuhan untuk menjadi hamba Allah yang mencapai derajat ‘Allah rido kepada mereka.’ Ketulusan hati (jiwa atau diri atau ruh) kaum soleh mengemuka daripada kemampuan berpikirnya. Mereka lebih mengedepankan hati daripada akalnya.

Allah Azza wa Jalla telah berketetapan dengan kehendak-Nya sendiri menjunjung derajat kaum yang mencintai Allah dengan setulus hati tanpa merasa terpaksa atau terbebani karena sebuah kewajiban! Allah sangat dirindukan oleh mereka dan Allah pun rindu kepada mereka. Keduanya saling mencinta. Dengan kemahamuliaan-Nya, Allah rido menjumpai mereka. Inilah kaum yang disebut di dalam Al-Qur’an dengan penjelasan-Nya sebagai berikut:

يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لآئم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Maidah : 54).

Itulah mereka yang di dalam hatinya terus menerus (istiqamah) mengingat Allah (dzikrullah) di waktu berdirinya, di waktu duduknya dan di waktu berbaringnya. Asma Allah senantiasa disebut-sebut dengan penuh ketulusan hati, merindu berharap Allah menjumpainya.

Ahli dzikir, begitulah sebutan mereka, tidak menghabiskan waktunya untuk berpikir sampai tahap analitis melainkan kontemplatif. Apa yang dilihat direnungkan dan takjub akan kemahabesaran Allah. Di dalam hatinya, mereka berkata: “Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau ciptakan semua ini tanpa sia-sia.” Mereka pun kemudian memuji Allah (bertasbih): “Maha Suci Engkau Ya Allah.” Tidak cukup hanya itu, mereka juga berdo’a memohon perlindungan kepada Allah dari siksa neraka akibat setan selalu menggodanya.

Karena ketulusan hatinya, ahli dzikir didudukkan derajatnya oleh Allah sebagai orang-orang yang berilmu (ulul ‘ilm) atau ulama! Al-Qur’an menjelaskan ahli dzikir sebagai berikut:

وما أرسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ahli dzikir) jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl : 43).

Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan Yang Maha Berkuasa lagi Maha Penyayang tidak akan membiarkan kerinduan seorang hamba yang menyebut asma-Nya, memuji diri-Nya, takjub akan keluasan ilmu-Nya dan yang senantiasa bermohon perlindungan kepada-Nya di setiap waktu dan keadaan, melainkan menyambutnya dengan penuh keridoan.

Rido Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba yang seperti itu akan mencurahkan rahmat ke dalam dirinya (jiwanya atau hatinya atau ruhnya). Maka memancarlah cahaya Allah di dalam hatinya (dirinya atau jiwanya atau ruhnya). Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana mengilhamkam ketakwaan ke dalam jiwa (diri atau hati atau ruh) hamba tadi. Hatinya (jiwanya atau dirinya atau ruhnya) dipenuhi dengan ilmu Allah dan ma’rifat.

Hati (diri atau jiwa atau ruh) seorang hamba yang telah dipenuhi ilmu dan ma’rifat akan mendengarkan suara yang ada, yang dipancarkan oleh Allah menerangkan nilai-nilai kebenaran. Begini dan begitu sehingga dia mengetahui apa yang seharusnya diucapkan (lewat mulutnya), diperbuat (oleh tangan dan kakinya). Itulah petunjuk Allah yang datang ke dalam jiwanya (hatinya atau dirinya atau ruhnya).

Umat Rasulullah Saaw yang seperti itu telah benar-benar mengetahui apa yang menjadi kehendak Allah Yang Maha Mulia. Dia (Allah) telah menganugerahkan Al-Hikmah (kemahabijaksaannya dengan pengetahuan yang mendalam) ke dalam jiwanya (dirinya atau hatinya atau ruhnya).

Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya dengan seizin-Nya melalui perantaraan Jibril as ke dalam hati (diri atau jiwa atau ruh) beliau, maka umatnya diturunkan atau diilhamkan atau dipancarkan cahaya-Nya dengan diajarkan Al-Hikmah dari keluasan ilmu-Nya.

Renungan Menjemput Akhir Kehidupan


Gairah untuk berbuat baik merupakan fitrah Allah. Setiap orang yang telah menyatakan kesaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, di dalam dirinya (jiwanya atau hatinya atau ruhnya) mengakui kebenaran Allah untuk diamalkan.

Akan tetapi, betapa sulit ketika gairah itu dilakukan dalam hidup keseharian. Banyak yang menghalanginya. Kesibukan, ketidakmampuan untuk melakukannya, terlampau berat untuk dilakukan, belum ada waktu yang tepat untuk menjalankannya, tidak terjangkau dalam menjalankannya dan sebagainya. Diakhiri dengan ungkapan: “Terlampau berat bagiku untuk mengamalkannya.”

Ajakan kebaikan dari dalam hati terasa jauh untuk dilahirkan ke alam realitas. Sebaliknya, apa yang menurut akal sangat memungkinkan, maka diupayakan untuk diamalkannya. Hati diabaikan, akal diperhatikan. Dalam akalnya, mengakui yang benar ternyata berat untuk diterima ke dalam pikiran yang susah menjangkaunya. Serasa apa yang disampaikan dari dalam hati tidak akan ada yang mengetahuinya. Akal, ternyata, telah mengabaikan firman Allah, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati.”

Tertumpuk banyak suara hati yang diabaikan untuk diamalkan. Lama kelamaan, suara itu tak lagi terdengar, yang muncul adalah dugaan-dugaan (sangkaan-sangkaan) iblis yang menguasai jiwanya (dirinya atau hatinya atau ruhnya). Dalam kondisi jiwa (hati atau diri atau ruh) seperti itu, serombongan iblis merasuk ke seluruh sel-sel saraf otaknya. Akal yang ada bersama otak tak menyadari iblis dengan cerdik menyuarakan bisikannya, seolah benar, padahal tak ada benar melainkan hanya tipuannya. Naudzu billahi min dzalik.

Hati yang diabaikan oleh akalnya karena ketidakmampuan akal untuk menjangkaunya, bertambah terpuruk ke dalam pelukan iblis sang penggoda. Angkara murka, keangkuhan, dusta dan kecerdikannya membius hatinya. Maka, akal terpaku mengikuti apa yang dapat diolah, dianalisa dan disimpulkan, yang telah bertengger iblis mengikutinya.

Terucaplah kata-katanya yang manis, membius, mempesona, menggoda setiap yang mendengarkannya. Allah Yang Maha Mengetahui telah menciptakan iblis dari api, zat halus yang memanaskan. Karena itu, terbakar hatinya seolah apa yang telah disuarakan di dalam otaknya harus dipenuhi. Ayat-ayat Allah dan Hadits Nabi yang mulia, yang telah dipelajari oleh otaknya, keluar dari mulutnya.

Begitulah hati kaum munafik. Hati tak pernah diajak untuk memuji Allah, mengagungkan-Nya dan bertasbih untuk-Nya. Justru akallah yang diandalkanya. Kecerdasannya, kemumpuniannya, kejeniusannya, kebrilianannya, dan kecemerlangannya disusupi oleh iblis menyelinap membisikkan kejahatannya.

Mereka tidak memohon perlindungan kepada Allah dari bisikan setan yang terkutuk, selain hanya di bibirnya, tidak sampai ke dalam hatinya. Hatinya gelap. Cahaya yang dulu telah dinyalakannya telah dihilangkan oleh Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah Yang Maha Pencipta telah memberi perumpamaan orang-orang munafik sebagai berikut:

مثلهم كمثل الذي استوقد نارا فلما أضاءت ما حوله ذهب الله بنورهم وتركهم في ظلمات لا يبصرون

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat” (QS. Al-Baqarah : 17).

Keimanan orang-orang munafik tidak berkualitas, melainkan hanya menipu Allah. Tidaklah menipu Allah, melainkan menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya.

ومن الناس من يقول آمنا بالله وباليوم الآخر وما هم بمؤمنين

“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman” (QS. Al-Baqarah : 8).

يخادعون الله والذين آمنوا وما يخدعون إلا أنفسهم وما يشعرون

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar” (QS. Al-Baqarah : 9).

Adakah kini kaum mukmin mengikuti mereka? Akhir kehidupan sudah jelas adanya. Allah Maha Mengetahui isi hati setiap yang mengaku beriman kepada-Nya. Adalah tidak patut jika telah mengaku beriman, tetapi keimanannya tidak sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Hatinya kosong dari mengingat Allah Yang Maha Mulia di setiap waktu dan keadaan.

Jihad di Jalan Allah disandarkan ke dalam hatinya dengan mengingat Allah, bertafakur dan berdo’a tak dapat diabaikan oleh orang-orang yang mengaku beriman kepada-Nya. Ber-akhlaqul karimah akan sulit dicapai bila hatinya tidak dijaga dari berdzikir, memuji Allah atas kemahabesaran-Nya dan memohon perlindungan kepada Allah dari bisikan setan yang terkutuk.

Keimanan seseorang harus dilaksanakan dengan penuh keyakinan tanpa ada keraguan sedikit pun di dalam hatinya. Sebagai contoh, seseorang yang mengimani ayat 28 surat Ar-Ra’d, yang menegaskan bahwa orang-orang beriman hatinya menjadi tenteram karena mengingat Allah, maka orang yang yakin akan kebenaran firman Allah tidak mengabaikannya.

Dalam Al-Qur’an, lihat ayat 205 surat Al-A’raaf, berdzikir menyebut asma Allah dilakukan di hati, tidak di lisan. Mengapa diperintahkan langsung ke dalam hati, tidak di lisan? Hatilah yang dapat merasakan langsung ketenteramanya jika berdzikir, maka sekiranya dilakukan di lisan, ketenteraman hati sangat lama merasakannya. Itu adalah fitrah Allah. “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah itu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (lihat QS. Ar-Ruum : 30).

Dengan merasakan langsung ketenteraman di hati, maka orang yang berdzikir telah dibuktikan oleh Allah akan kebenaran firman-Nya. Dengan kemahabijaksanaan-Nya, Allah secara bertahap akan membimbing para pedzikir ke “Gerbang Kekuasaan-Nya” untuk menjumpai cahaya-Nya. “…Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki” (lihat QS. An-Nuur : 35).

Akhirilah kehidupan dengan terlebih dahulu menjumpai cahaya-Nya di dalam hati. Inilah yang dimaksud dari perintah Allah pada surat Ali Imron ayat 102 di atas, “…dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri (muslim).” Sekiranya sampai pada ketetapan-Nya ajal menemui, maka cahaya-Nya itulah yang menerangi kegelapan di alam kubur. Subhanallah.

Hati adalah ruh atau jiwa atau diri seseorang dalam perwujudan di dunia tak tampak sebagaimana amalnya. Jika hatinya kosong tanpa cahaya-Nya, maka saat ajal menjemputnya, dia akan merasakan kegelapan dan berwujud dalam ketidaksempurnaan. Bukan sebagaimana dia (manusia) saat masih hidup di alam dunia. Malaikat penjaga kubur pun sangat geram dan marah menyaksikan kehadirannya! Naudzu billahi min dzalik.

Sedangkan Cahaya Allah akan menerangi perwujudan dirinya sebagaimana dia (manusia) sewaktu hidup di alam dunia. Senyum berseri para malaikat dan ruh-ruh suci menyambut kedatangannya.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr ayat 27-30, di akhir kehidupannya, ahli dzikir yang hatinya (jiwanya atau dirinya atau ruhnya) telah mencapai ketenteraman, Allah Yang Maha Mulia mengundangnya dengan firman-Nya:

يا أيتها النفس المطمئنة

“Hai jiwa yang tenang”

ارجعي إلى ربك راضية مرضية

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya”

فادخلي في عبادي

Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku”

وادخلي جنتي

“dan masuklah ke dalam surga-Ku”


Itulah yang dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla, tidak sebagaimana yang diinginkan manusia. “Cukuplah Allah bagiku. Dia sebaik-baik pengurus, sebaik-baik penolong dan sebaik-baik pemberi pertolongan.”***
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post

6 komentar

avatar

Assalamualaikum Pak Ahmad...

Di akhir kehidupan, setiap manusia seolah diingatkan dgn amalan2-nya selama di dunia. Diterima atau tidaknya amalah seseorang hanyalah atas keridhaan Allah.

Allah lebih menyukai amal yg sedikit namun dilakukan secara istiqomah dibandingkan dgn amal yg banyak tapi tidak istiqomah.

Apakah amalan shalih itu sebenarnya?
Apakah artinya amalan tulus ikhlas yg diridhai Allah walau nilainya mgkin hanya bermanfaat bagi sejumlah kecil manusia lainnya?

Saya merasa tidak memiliki amal apa pun yg mendatangkan manfaat bagi byk org. Amal yg bisa saya rasakan hanyalah amal mencari nafkah bagi keluarga saja... tiada lain. Apakah kiranya amal tsb sdh cukup utk mendapat ridha Allah?

Mohon pencerahannya... Syukron.

Wassalam,

Eddy "Shaliq"

avatar

Wa ‘alaikum salam wa rahmah, bang Eddy. Semoga Allah merahmati anda.

Amalan soleh itu adalah perbuatan yang mengacu kepada perintah dan larangan Allah. Apabila seseorang menjalankan perintah Allah, solat misalnya, maka dia tidak boleh atau dilarang untuk menggabungkannya dengan apa yang dilarang oleh Allah. Jika dia solat tetapi juga melakukan perbuatan yang dilarang Allah, maka solat yang dilakukannya tidak bernilai pahala soleh, melainkan akan dibalas oleh Allah dengan pahala seberat biji zaroh (ringan sekali). Karena sesungguhnya dia (pelaku solat) tidak mendirikan solat sebagaimana dikehendaki Allah, melainkan hanya menunaikannya dengan keinginan hawa nafsunya.

Itupun sekiranya perbuatan yang dilarang oleh Allah bukanlah perbuatan yang dapat menghapuskan pahala amal soleh, riya atau tidak ikhlas misalnya. Perbuatan riya tidak ditujukan untuk beroleh perhatian dari Allah, tetapi ingin dipuji oleh sesama manusia.

Allah akan membalas solat orang seperti itu dengan tipuan-Nya. Maksudnya? Allah Azza wa Jalla tidak menolong orang-orang yang solat dalam keadaan hatinya berharap dinilai oleh orang lain, melainkan akan beroleh pujian orang lain semata. Dengan kata lain, dia menjalankan solat hanya sebatas apa yang menjadi keinginannya, bukan mengikuti apa yang dikehendaki Allah.

Solat yang dikehendaki oleh Allah adalah solat yang didirikan untuk mengingat Allah. “…dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S. Thaahaa : 14). Mengingat Allah berarti hanya Allah lah yang menjadi tumpuannya, bukan selain-Nya. Hatilah yang memegang peranan di dalam solat. Jika hatinya tidak berdzikir atau mengingat Allah, maka sulit bagi siapa pun solatnya menjadi khusyu’.

Capaian khusyu’ dalam mendirikan solat dikategorikan sebagai orang yang ikhlas dalam mendirikan solat. Tulus ikhlas, tidak terbebani karena solat merupakan suatu kewajiban. Allah sebagai Tuhan Yang Maha Suci tidak menghendaki tiadanya kesucian diri atau hati atau jiwa atau ruh orang yang solat.

Begitupun dengan amal-amal soleh lainnya yang merupakan perintah Allah. Mencari nafkah, misalnya, untuk menafkahi keluarga yang menjadi kewajiban bagi seorang suami, maka akan menjadi pahala soleh sekiranya dalam menunaikan kewajiban itu mengikuti kehendak Allah, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya.

Allah Yang Maha Mulia melarang untuk menipu, mencuri (korupsi), mengambil hak orang lain bagi kaum mukmin yang sedang menfkahi anggota keluarganya. Kesolehan usahanya karena mengikuti kehendak-Nya, bukan mengikuti hawa nafsunya.

Pertanyaannya sekarang adalah adakah seseorang mampu mencegah perbuatan yang dilarang oleh Allah dari amal-amal soleh yang dikerjakan oleh seseorang jika hatinya tidak terjaga dari mengingat Allah? Sedangkan hati atau jiwa atau diri atau ruh yang tidak berdzikir secara istiqamah akan dibisiki oleh iblis sang perayu, penggoda, penghasut, penipu, pendusta, penghayal, pendendam, penakut, pengaku aku paling benar, dan watak-watak iblis dan kecerdikannya menguasai jiwa atau diri atau hati atau ruh manusia?

Maka, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”(Q.S. Al-A’raaf : 205).

Keridoan Allah terletak pada keikhlasan mengikuti kehendak-Nya tanpa terbebani atau terpaksa. Kaum mukmin adalah calon-calon hamba Allah, maka merendah-dirilah di hadapan kemahabesaran-Nya dengan rasa takut, seraya hatinya menyebut asma-Nya, memuji-Nya, mengagungkan akan kemahabesaran-Nya, memohon akan pertolongan-Nya di setiap keadaan (di waktu berdirinya, di waktu duduknya
dan di waktu berbaringnya).

Salam dariku,

Ahmad

avatar

Assalamu alaikum.wr.wb
beralaskan kebodohan izinkanlah Hamba Allah yang hina dina, papa, dan bodoh ini mencurahkan buah hati hamba....
sangat menarik apa yang dituliskan pada postingan ini,
Apakah dapat kushyu itu tercapai? jikalau kita belum mengenal Allah dengan sesungguhnya,,pernah saya mendengar dan membaca..."Barang siapa yang mengingat Allah berupa Nama atau Tulisan didalam Shalat sama dengan menyembah berhala"(mohon koreksi) dengan kata lain bahwa jikalau kita mengingat Allah haya dengan fikiran dan angan2 sama halnya jika kita menyembah berhala,,,sedangkan Allah ingin kita sebagai hamba mengetahui dan beribadat kepadanya bukan dengan angan angan kosong belaka...bahkan ada yang membayangkan bahwa Tuhan itu ada di atas/langit dan adapula yang membayangkan bahwa tuhan itu ada di depanx,,,padahal dalam Al Qur'an telah dituliskan yang Artinya kurang lebih : Didalam dirimu sendiri mengapa engkau tidak mengetahuix""....
maka kemanakah arah hati, pada waktu shalat..??
sedangkan hati yang dimaksudkan bukanlah berada pada daging yang berada di dalam dada( Ati ), tetapi adalah hati itu suatu tempat yang sangat dekat dengan sirr..

Hamba Allah juga melihat banyak ulama, mazhab maupun Aliran yang mengabaikan untuk mencari hakikat sebelum beribadah, karena mereka mempergunakan syariat untuk mecari hakikat,,
bukankah hakikatlah yang membawa syariat,,seumpama sebuah mobil diibaratkan syariat dan supir adalah hakikatnya ,,maka tidaklah dapat mobil itu mencapai tujuannnya tanpa adanya supir dan sebaliknya supir dapat sampai ke tujuan tanpa adanya mobil( Awaluddin Ma'rifatullah)awal dari agama adalah mengenal Allah...itulah yang tauhid..
hakikat adalah essensi ibarat pohon hakikatlah jatix dan syariat adalah kulitnya..tidaklah mungkin akan tumbuh sebuah pohon jika yang ditanam dahulu kulitx tetapi jika kiata menanam jati(batangx)maka otomatis kulitnya akan muncul dibelakang...
maka dapat disimpulkan bahwa tiada guna sholat atau ibadah yang lain tanpa terlebih dahulu mengenal Allah,,dengan haq bukan dengan persangkaan belaka..
kalimat "Laa Ilaha Illallah" adalah sebuah persaksian maka apakah kita telah meyaksikan Allah(bukanlah disaksikan sekedar Alam & ciptaannya tetapi wujud)""hati tidak membeohongi apa yang dilihatnya"" jika tidak maka dua kalimat syahadat itu tiadalah berarti..
ibarat pengadilan dunia tiadalah seorang dijadikan saksi bilamana dia tidak mengetahui atau melihat suatu kejadian yang menjadi perkaranya...
sekian ...
wassalam
dari Hamba Allah yang hina dina papa dan bodoh ini...........

avatar

Wa 'alaikum salam wr. wb.

Hamba Allah yang sedang berada di dalam pergulatan pemahaman akan hakikat dan syari'at dalam beribadah kepada Allah. Saya dapat memaklumi cara anda mempersepsi ayat-ayat Allah tidak berasal dari hati sanubari, melainkan perjuangan keras melalui pemahaman akal (lahir).

Berbuat sebagaimana yang dipahami oleh akal pasti berbeda dengan petunjuk dari Allah. Perbedaan dapat terjadi karena orientasi akal terpusat hanya pada apa yang dapat dijangkau menurut kecerdasan intelegensi. Sedangkan kecerdasan hati (spritual) tidaklah menyandarkan pada kemampuan daya analisa akal, selain merupakan hasil yang diperoleh dari suara hati (petunjuk Allah).

Persoalan ini mencuat ketika kaum mukmin belum meyakini dengan kuat bahwa ayat-ayat Allah itu nyata adanya. Satu sisi, Al-Qur'an berisi ayat-ayat Allah yang terdiri atas ayat-ayat muhkamat (mengandung pokok-pokok isi Al-Qur'an) dan mutasyabihat (hanya Allah sajalah yang mengetahui takwilnya). Sedangkan, di sisi yang lain, tidak semua kaum mukmin mendapati pemahaman mendalam tentang ayat-ayat Allah yang dicurahkan ke dalam jiwanya dengan keridoan-Nya.

Mendapati keluasan ilmu Allah di dalam jiwa tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan karena kehendak-Nya. Allah mengajarkan Al-Hikmah ke dalam jiwa seorang mukmin karena ketundukan dan kepatuhan kepada apa yang menjadi kehendak Allah.

Setiap umat Rasulullah memiliki peluang diajarkan Al-Hikmah (pemahaman mendalam mengenai ayat-ayat Allah dan Hadits Nabi-Nya) setelah berjuang mengikuti apa yang telah diperintahkan dan dilarang oleh Allah. Orang yang telah mendapati Al-Hikmah adalah kaum mukmin yang telah mencari jalan menuju kepada-Nya dan berjuang dengan sungguh-sungguh sesudah menemukan jalan yang ditunjuki oleh Allah tersebut.

Akan terasa sulit untuk menentukan bahwa mengenal Allah harus didahului sebelum menjalankan syari'at. Jika Nabi Ibrahim a.s pernah dikisahkan mencari Tuhannya di saat beliau tidak ada berita yang disampaikan oleh Allah ke dalam jiwanya, tidaklah dimaknai oleh umat Rasulullah Saaw bahwa hal yang sama harus dilakukan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Datuk Nabi Muhammad Saaw.

Akan tetapi, dengan Al-Qur'an, akhirnya kaum mukmin telah dijelaskan bahwa "Tidak ada Tuhan kecuali Allah." Kita telah diperkenalkan melaui Rasulullah dan Kitabullah bahwa Dia adalah Esa (tauhid). Maka, ketika ada yang mengimani apa yang telah diwahyukan Allah kepada utusan-Nya, selanjutnya adalah menjalankan syari'at yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saaw.

Mengenal Allah yang dimaksud di atas tidak disebut sebagai mengetahui hakikat dari peribadatan secara syar'i. Mengenal bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa menyadarkan kepada kaum mukmin agar hanya beribadah kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Hal ini sangat ditekankan oleh Allah agar hanya kepada-Nya lah kaum mukmin beribadah. Sekiranya tidak sebagaimana yang dikehendaki-Nya, maka sulit dan tak mungkin dapat berjumpa dengan Allah di ‘Arasy-Nya.

Jadi, menjalankan syari’at yang diajarkan oleh Allah melalui Rasul-Nya merupakan jalan yang dapat mengantarkan kaum mukmin akan mengetahui hakikatnya, sepanjang dalam pelaksanaannya berpegang teguh secara istiqamah untuk memisahkan yang hak dari yang batil. (Bersambung)

avatar

(Sambungan)


Keistiqamahan dalam beribadah kepada Allah dengan menyandarkan kepada pertolongan dan perlindungan Allah merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari umat Rasulullah Saaw. Kelemahan diri kaum mukmin lah yang menjadi dasar untuk mengikuti ketetentuan Allah dimaksud.

Kebergantungan kepada Allah secara mutlak tidak dapat ditawar. Hanya kepada-Nya semuanya bergantung. Mustahil dapat menjadi seorang hamba yang mulia bila berlepas diri dari keluasan kasih sayang-Nya.

Konsekuensinya, ketundukan dan kepatuhan mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kaum mukmin akhirnya harus dipenuhi tanpa penolakan untuk menghindar dengan argumentatif yang berseberangan dengan suara hati.

Hakikat suatu ibadah dapat diketahui setelah dengan bersungguh-sungguh menjalankan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah. Sholat menjadi semakin khusyu’ apabila solatnya telah mencapai hakikatnya solat. Artinya, solat secara syar’i telah dijelaskan tata caranya dalam Hadits Rasulullah Saaw dan hakikat yang dikehendaki oleh Allah dijalankan dengan ketulushatian.

Solat tidak cukup hanya ditentukan pahalanya dari bacaan dan gerakan, tetapi hakikatnya telah mengantarkan pelaku solat menjauhkan apa yang dilarang oleh Allah dalam kehidupan. Ketika memenuhi kehendak Allah, yaitu “Dan dirikanlah solat, sesungguhnya solat mencegah perbuatan keji dan mungkar,” maka pelaku solat memperoleh pahala solat sebagaimana yang dikehendaki-Nya (Inilah hakikatnya solat).

Orang yang solatnya khusyu’ karena dia mendirikan solat sebagaimana hakikatnya solat yang dikehendaki Allah. Jika solat telah mendapati pada tingkat kekhusyu’an, maka pelaku solat telah memasuki kesadaran akan butuhnya solat sebagai media hubungan dengan Allah Yang Maha Mulia.

Orang yang telah khusyu’ dalam solatnya akan menjadi semakin takut dan merendahkan diri di hadapan kemahabesaran Allah. Buahnya adalah tawadhu, istiqamah, wara’, zuhud yang ditanamkan oleh Allah ke dalam jiwanya (Allah mengilhamkan ke dalam jiwanya ketakwaan).

Saya tidak sependapat dan cenderung salah jika mengenal Allah dengan membayangkan (diingat-ingat tulisan “Allah” dalam benak). Mengingat Allah dilakukan dengan menyebut asma-Nya di dalam hati sudah sangat jelas disebutkan dalam Al-Quran surat Al-A’raaf: 205:

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Jelas bahwa berdzikir di dalam hati (dzikir khofi) disertai menjalankan syari’at mendukung ketenangan jiwa kaum mukmin dalam beribadah. Ketenangan hati atau jiwa atau diri atau ruh akan meningkatkan keimanan karena Allah rido. (Bersambung)

avatar

(Sambungan)


“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS. Al-Fath: 4).

Ketenangan jiwa atau hati atau diri atau ruh diturunkan Allah karena orang beriman suka berdzikir (menyebut asma Allah di dalam hati). Ini disebut di dalam Al-Qur’an ayat 28 surat Ar-Ra’du

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Allah takkan dapat dicapai oleh makhluk-Nya yang tidak mengikuti kehendak-Nya. Mengenal Allah sebagai mengenal akan kedudukan-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta sudah ditegaskan di dalam Al-Qur’an. Jika berharap akan mengenal wajah Tuhan, maka mustahil dapat dipenuhi oleh Allah kalau belum bertakwa.

Bertakwa hanya dapat dicapai apabila telah dengan setulus hati menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah seraya dengan rasa takut dan merendahkan diri senantiasa memuji-muji Allah di dalam hatinya atau jiwanya atau dirinya atau ruhnya di waktu pagi dan petang; di saat berdirinya atau duduknya atau berbaringnya.

Allah Yang Maha Berkuasa diandalkan, dibutuhkan, disandarkan, dicintai dengan sepenuh hati tanpa keterpaksaan atau merasa letih dan lelah. Pasrah diri sepenuh jiwa kepada apa yang menjadi kehendak Allah di atas keinginan dirinya (sang hamba). Orang bertakwa sangat tulus hatinya dalam beribadah (mukhlis). Tanpa pamrih karena adanya keinginan hawa nafsu (diri), selain karena merasa butuh dan tak dapat berbuat apa-apa jika tidak karena pertolongan Allah.

Alhasil, mengenal Allah (dalam wujud Zat-Nya) dapat dicapai setelah hakikat telah dicapai dalam menjalankan syari’at yang dilakukan secara istiqamah dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Dzikir memperkuat akan turunnya pertolongan Allah sehingga kehendak Allah dapat dipenuhi, baik syar’i maupun hakikatnya. Inilah yang disebut orang yang telah mencapai ma’rifatillah.


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner