-->

Translate This Blog

29.10.20

Cara Mendengar Suara Hati Sendiri

cara mendengar suara hati sendiri


Suara hati yang tersembunyi sering kali diabaikan oleh akal hingga sangat sulit untuk memahami apa yang disampaikan oleh hati. Lalu, bagaimana cara agar bisa mendengar suara hati sendiri? 

Cara yang paling tepat dan efektif agar bisa mendengar suara hati adalah mengurangi tingkat keangkuhan akal terhadap hati. Maksudnya adalah bagaimana akal menjadi bijaksana untuk mendengarkan suara hati.

Akal yang Bijaksana


Adakah yang dapat memberdayakan hati sekiranya akal tak memperhatikan suara hati? Allah Yang Maha Mulia telah menciptakan hati dengan kelengkapan kehadirannya di balik realitas. Hati hadir bersama dengan keberadaan jasmaniah manusia di dunia. 


Sekalipun tak terjangkau oleh penglihatan mata (dhohir), tetapi setiap insan dapat merasakan adanya (hati). Hati, yang dimaksud di sini, bukanlah bagian dari organ tubuh manusia, melainkan dia adalah diri kita atau jiwa kita atau ruh kita. 


Akal yang hadir di bagian otak kita, dalam penciptaan manusia, telah ditetapkan sebagai pelengkap akan keberadaan manusia yang dimuliakan Allah dari makhluk lain ciptaan-Nya.


Sekalipun demikian, keberadaan manusia sebagai makhluk Allah di dunia tidak diciptakan tanpa tujuan. Allah Yang Maha Mulia menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya.


"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).


Allah Yang Maha Pencipta mempertegas dengan ayat tersebut, bahwa manusia yang telah diberi kemampuan berpikir, bersama jin harus menjalankan perintah Allah, yaitu beribadah.


Akal, sebagai karunia yang dianugerahkan kepada manusia, sudah harus mengetahui tujuan Allah menciptakan manusia. Maka, ketika akal tidak mengetahui dan tidak pula mengamalkannya, tidak termasuk yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana ayat tersebut.


Kedudukan manusia, dengan demikian, bukan disebabkan karena ada akalnya, melainkan kehadiran akal sebagai anugerah yang dikaruniakan Allah dapat menjadikan manusia untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Allah.


Pola pikir manusia dengan menggunakan akalnya seharusnya sejalan dengan apa yang menjadi ketetapan Allah. Maknanya adalah akal sebagai wujud yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, tidak dapat ditawar lagi untuk memikirkan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah bagi dirinya.


Kitabullah telah menjelaskan keberadaan manusia yang telah dilengkapi akal bukan untuk menjadi penyembah berhala, melainkan hanya menyembah kepada Allah Yang Maha Pencipta.


Keterangan Al-Qur’an yang demikian agar dapat diketahui oleh akal manusia yang mengimaninya. Beriman kepada Allah merupakan kehendak Allah. Karena itu, jika manusia yang telah dilengkapi akal tidak beriman, berarti dia telah mengabaikan perintah Allah.


Kedudukan manusia yang beriman kepada Allah berbeda dengan orang-orang kafir atau mereka yang telah mendustakan ayat-ayat Allah. Keimanan seseorang ditentukan dari pengetahuan akalnya akan kebenaran firman Allah. Selama akal telah mengetahui adanya ketentuan Allah yang telah diberlakukan bagi umat manusia, maka manusia yang demikian tidak boleh mengabaikanya.


Akal yang bijaksana adalah akal yang berjuang agar dengan penuh khidmat mendengar suara hatinya yang menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Allah Yang Maha Pencipta telah menjadikan hati untuk tetap tunduk dan taat terhadap perintah dan larangan Allah.


Akan tetapi, dalam perjalanan hidup manusia, akal sering mengabaikan suara hati. Sebaliknya, akal terlalu angkuh dan mau menang sendiri daripada mendengarkan apa kata hati. Alhasil, yang terjadi adalah tiadanya perhatian akal terhadap apa yang telah ditetapkan Allah di dalam hatinya sendiri.


Dalam kondisi seperti itu, akal semakin bertambah jauh dari hatinya sendiri. Akibatnya adalah di dalam dirinya tumbuh sifat-sifat syaitoniah. Sombong (takabur), angkuh, ujub, dengki (hasad), riya, merasa paling benar, sok suci, sangat kental dengan sifat-sifat jahiliyah, dusta, suka menipu daya, berpura-pura baik, suka usil, gemar bercinta (mengumbar hawa nafsu), tak suka pada kesederhanaan, senang berpesta pora, berburuk sangka, tidak bersabar, mudah putus asa, suka berdebat mempertahankan ego dan lain-lain sifat buruk syaiton.


Pada akal yang bijaksana, sifat-sifat semacam itu tidak muncul. Hatinya bersih dan memancar nilai-nilai kebenaran yang diturunkan Allah ke dalam jiwanya. Allah Yang Maha Mulia telah menolongnya karena ketundukan dan kepatuhan akal terhadap apa yang disampaikan hatinya.


Akal yang bijaksana, dengan demikian, tidak mengikuti hawa nafsu, melainkan mendengarkan suara hati yang berjuang mengingat Allah di dalam hatinya sendiri. Perjuangan semacam ini, yaitu berdzikir atau menyebut asma Allah di hati, dimaksudkan untuk mengurangi keangkuhan akal yang tidak bergegas mengikuti kehendak Allah sejak mengetahui firman Allah di dalam Al-Qur’an.


Al-Qur’an telah lama menegaskan:


“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raaf: 205).


Ayat ini menjadi penentu adanya kebijaksanaan akal dalam memuji Tuhannya di dalam hati. Kitabullah (Al-Qur’an) adalah petunjuk bagi kaum mukmin. Maka, sekiranya tidak diindahkan petunjuk tersebut, yang terjadi adalah kesesatan dalam perjalanan hidup sebagai seorang mukmin.


Mengapa Allah Yang Maha Bijaksana memerintahkan agar berdzikir di hati, tidak di lisan? Allah Yang Maha Mulia telah menetapkan adanya keutamaan berdzikir di dalam hati, sebagaimana Allah telah menjelaskan di ayat yang lain.


“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28).


Ajak Akal Mendengarkan Suara Hati


Kebijaksanaan akal terletak pada bagaimana dia (akal) manusia mengupayakan untuk bersungguh-sungguh mendengarkan apa kata hati. Allah, sekali lagi, telah menciptakan akal dan hati berpadu dalam satu keberadaan manusia di dunia ini.


Apabila akal yang telah diciptakan di wilayah lahir (realitas), maka tak berarti apa yang tidak dijangkau di alam realitas tak ada. Allah adalah Tuhan Yang Maha Goib, adakah karena tidak dijangkau di alam realitas Dia (Allah) itu tiada? Naudzu billahi min dzalik


Kaum mukmin telah berikrar bahwa tiada Tuhan kecuali Allah. Maka, pengakuannya menunjukkan menerima-Nya kehadiran Allah di dalam kemahakuasaan-Nya. Kitabullah (Al-Qur’anul Karim) telah menjelaskan tentang Dia (Allah) sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta.


Allah Yang Maha Mulia telah menerangkan keberadaan jin di balik realitas. Demikian juga, keberadaan malaikat yang mulia. Allah juga yang telah menjelaskan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Al-Qur’an yang mulia telah mencatat semua perkataan Allah. Ada kehidupan di balik yang tampak merupakan salah satu keyakinan yang sudah seharusnya tertanam di dalam hati.


Kita pun telah dapat merasakannya (hati) di dalam jiwa kita. Adakah orang mendapati hati dapat dilihat secara dhohir? Tak ada satu alat teropong pun yang dapat menjangkaunya. Itu adalah fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Pencipta.


Adakah karena tidak terlihat (mata lahir), tetapi dapat dirasakan secara langsung oleh manusia sendiri, dianggap tak ada? Adakah kita menganggap bahwa angin itu tak ada karena tak dapat dicapai oleh penglihatan lahir? Bukankah kita telah dapat merasakannya?


Pemahaman nyata ada tidak dapat disejajarkan pemahamannya dengan tak ada apabila tidak tampak terlihat. Nyata ada dapat juga yang berwujud tak tampak terlihat oleh penglihatan mata lahir (dhohir). Kelihatan dan tidak kelihatan di wilayah lahir (realitas) dapat diketahui hanya oleh mata lahir. Akan tetapi, Allah Yang Maha Berkuasa juga telah menciptakan mata hati.


Apabila mata hati tidak ‘difungsikan’ oleh Allah, sesungguhnya tidak beralasan bahwa segala yang ada di balik realitas tak ada. Bagi yang belum dibuka mata hatinya tak patut mengatakan bahwa tak mungkin  apa yang berada di balik realitas ‘dapat dijangkau’.


Mari kita perhatikan ayat berikut:


“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati (QS. Ali Imron: 13).


Allah Yang Maha Pencipta telah mengisahkan adanya dua pasukan yang saling bertempur. Dari keduanya, ternyata pasukan kaum muslim jumlahnya dua kali dari pasukan kaum kafir. Allah menjelaskan bahwa pasukan kaum muslim telah diperbantukan oleh ‘pasukan bantuan’ yang diturunkan oleh Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya.


Bantuan-Nya, sebagaimana yang dimaksud pada ayat tersebut, adalah tentara langit. Siapakah tentara langit tersebut? Mereka adalah para malaikat. Kemudian Allah menegaskan akan kejadian seperti itu merupakan pelajaran bagi orang-orang yang memiliki mata hati.


Sebagaimana kita ketahui, bahwa malaikat adalah makhluk Allah yang mulia yang keberadaannya tidak dapat dijangkau oleh penglihatan. Peristiwa yang dikisahkan Al-Qur’an, bagi kaum yang meyakini, Allah telah menunjukkan ada penglihatan yang ‘mampu’ menjangkau malaikat yang tidak terjangkau oleh penglihatan (dhohir). Dalam kisah tersebut, Allah mengatakan secara langsung bahwa ada mata hati yang ‘mampu’ menjangkaunya.


Akankah kaum mukmin menolak pejelasan Allah pada ayat tersebut? Saya meyakini, sebagaimana kaum mukmin lainnya meyakini, bahwa benar adanya firman Allah tersebut. Kurangnya pengetahuan tentang perkara goib (di balik realitas) tidak menjadi alasan pembenaran (justifikasi) untuk menjauhi perkara di balik realitas.


Ada mata hati, maka ada juga suara hati. Allah menjadikan orang-orang yang telah dianugerahi karunia diperlihatkan dan diperdengarkan peristiwa yang terjadi di balik realitas. Akan tetapi, penglihatan hati berbeda dengan suara hati.


Suara hati adalah pesan-pesan yang dipancarkan dari cahaya ilahi sampai yang mendapatinya mengetahui adanya pengetahuan yang diperoleh bukan dari akalnya. Pesan-pesan hati diakumulasi supaya memudahkan komunikasi terjalin antara Pemilik Pesan dengan Penerima Pesan. Antara Dia Yang Maha Pencipta dengan dia sang hamba makhluk ciptaan-Nya.


Agar menjadi lebih semakin terasa ada suara hati, maka akal yang bijak tak hanya memikirkan perihal duniawi. Sepatutnya akal sudah harus memberi porsi  kesetiaan untuk berbagi dengan hati sanubari. Caranya adalah sediakan waktu untuk hati diberi perhatian bersuara mengikuti cerita yang dialami.


Apa yang dialami akal, hati mengikuti dengan teliti. Sekalipun akal seolah mengetahui hati tak mau kompromi, hati sesungguhnya sudah ditetapkan untuk tetap berbakti kepada Ilahi: “Kami dengar dan kami taati.”


Keutamaan hati tidak tercemari oleh beragam aksi akal yang mengakali. Hati yang fitri tak mau dikibuli (dibohongi). Maka, suasana hati telah benar-benar menjadi diri yang sejati di hadapan Ilahi Robbi. Inilah janji yang sudah diikat kuat oleh Tuhan Yang Maha Suci.


Perlukah hati untuk memuji Allah Yang Maha Suci? Sudah pasti, dia terikat janji untuk berbakti. Maka, suara hati akan semakin berseri bila Allah Yang Maha Mulia dipuji dan dijadikan untuk sandaran hati. 


Akal dan Hati Bersinergi

 

  Akankah diri begitu sedih tanpa sepi sekiranya dikibuli?

Oh, itu sudah pasti!

Akal dan hati bersatu dalam diri sang insani

Akal yang berbudi selalu menemani hati yang suci

 

Kuatnya hati jika akal mau mengerti

Untuk mengabdi kepada Ilahi Robbi

Telah terjadi ikatan janji antara diri dan ilahi

Hati memahami janji, tapi akal mencoba lari

 

Akal berarti tak mau bersinergi dengan hati

Itu telah ingkar janji dengan Ilahi

Bersinergi sudah pasti jika ingin berbakti

Tawaran hati tak patut diakali

 

Akal, duhai akal  yang baik hati

Hati memang bersatu dalam diri

Adakah akal tak mau peduli?

Hati dan akal adalah karunia Ilahi

 

Berguru pada Ilahi butuh sinergi antara akal dan hati

Jalinan semakin berarti bila hal demikian terus terjadi

Bersinergi bukan hanya hari ini

Juga sampai nanti ajal menghampiri  

 

Akal telah bersinergi jika hati dipanggil Ilahi

Hati yang suci akan mengakhiri dalam batas yang sudah pasti

Di kala hati telah berbakti

Ilahi bergegas memanggil hati manusia sejati

This Is The Newest Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post


EmoticonEmoticon

Post a Comment

This Is The Newest Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner