Melaksanakan kehidupan di dunia tidak sama dengan kehidupan di alam keabadian. Manusianya boleh saja sama, tetapi wujudnya yang berbeda. Anda ketika hidup di dunia berparas cantik atau tampan, tetapi di alam keabadian tidak pasti sama bergantung bagaimana amal anda di dunia. Manusia yang beramal saleh, Allah tempatkan ke dalam surga yang mengalir sungai di bawahnya. Sedangkan manusia yang berbuat jahat, Allah tempatkan di neraka jahannam. Padahal, ketika hidup di dunia, manusia telah diberi peringatan, tetapi amal mereka tidak mengikuti petunjuk. Pahala untuk orang-orang beriman dilipatgandakan, sedangkan orang-orang kafir dibalas sepadan dengan perbuatannya. “Dan orang-orang yang beriman serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (al-Baqarah:82). Di antara manusia ada yang mengikuti Allah, dan ada juga yang mengikuti selain Allah. Allah SWT berfirman untuk orang-orang yang mengikuti selain kepada-Nya,“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api neraka” (al-Baqarah:167).
Masalahnya adalah adakah di antara manusia yang menjalankan kehidupan di dunia berada di dalam petunjuk? Sekiranya Allah SWT memberi petunjuk, maka amal-amalnya menjadi baik (soleh) karena mengikuti petunjuk. Sedangkan, bagi mereka yang tidak beroleh petunjuk, tentu saja, mereka menjadi manusia-manusia pembangkang. Bagaimana anda mendapatkan petunjuk? Apakah petunjuk Allah Yang Maha Mengetahui diberikan atau diperjuangkan? Barokallah linnasi filhidaayah--Allah SWT mencurahkan barokah bagi manusia-manusia yang memperoleh petunjuk. Apa maknanya? Berkah atau barokah diberikan oleh Allah kepada manusia yang mendapat petunjuk apabila mereka memperjuangkannya. Nilai keberkahan itu memiliki keutamaan dibandingkan dengan petunjuk Allah SWT yang diberikan tanpa perjuangan. Petunjuk Allah SWT akan diberikan kepada orang-orang yang dalam penilaian Allah patut ditolong. Misalnya, orang-orang kafir yang mendalami pelajaran agama Islam, anak-anak yang mendapat pakaian Allah SWT dari kekasih-Nya (anugerah alami), para pelatih kebijakan (kiai kharismatis), orang-orang yang mendalami ilmu-ilmu keislaman, para pemimpin yang adil, anak-anak yatim, para pedagang yang jujur, anak-anak yang dianiaya, dan lain-lain sesuai kehendak-Nya.
Manusia beragam dalam meyakini kebenaran Allah Azza wa Jalla. Ada di antara mereka yakin baru sampai diucapkan melalui lisannya, ada yang yakin setelah memperoleh ujian, ada yang yakin karena dianiaya oleh orang-orang jahat lalu Allah SWT menolongnya, ada yang yakin setelah mengalami peristiwa secara langsung perihal goib, ada yang yakin sesudah dipandu oleh orang-orang yang sudah memiliki keyakinan, dan ada lagi yakin karena sejak kecil dia sudah memperoleh anugerah. Di antara mereka, ada yang keyakinannya karena Allah Azza wa Jalla memberikan sekaligus memperjuangkannya. Untuk orang yang disebut terakhir ini, Allah Azza wa Jalla mengkhususkan sebagai kekasih-Nya.
Perjuangan akan petunjuk Allah Azza wa Jalla melalui berbagai ujian yang berat. Sejak adanya petunjuk Allah SWT diperoleh (adanya sejak anak-anak), maka orang yang dikhususkan mengalami banyak peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan. Seolah hidup tidak pernah merasakan kebahagiaan. Akan tetapi, dengan petunjuk Allah, dia merasakan ada yang membimbing di dalam hatinya. Maka, setiap kali peristiwa yang kurang patut diterimanya terjadi, dia merasakan ada yang memberitahukan di dalam hatinya. Saya menyatakan hal yang demikian adalah karena sudah dialami oleh ‘anak-anak’ yang patut ditolong oleh Allah Azza wa Jalla. Dari pengalamannya, saya menyimpulkan bahwa dengan petunjuk yang kemudian diyakini sebagai benar ada-Nya, maka pasti dia menjalankan petunjuk itu dengan sungguh-sungguh. Sampai kemudian, dia mendapati sepanjang kehidupannya ada jalan yang dapat dilalui dengan bimbingan para kekasih-Nya. Saya sadari bahwa pernyataan ini masih banyak yang sulit menerimanya. Tetapi, insya Allah, bagi siapapun yang mulai merasakan di dalam jiwanya bergejolak rasa rindu kepada Allah Azza wa Jalla, dia tidak akan menolak pernyataan saya ini. Gelora yang demikian kuat di dalam hatinya mengantarkan si pemiliknya merindu seolah ada sesuatu yang harus diikuti. Inilah, yang oleh para salik (penempuh jalan thariqah), ada keyakinan yang sudah didekatkan (muqarrabin) oleh Allah Azza wa Jalla adanya alam goib. Sebuah peristiwa goib yang sulit untuk dilukiskan apabila diterima oleh akal manusia (logika).
Peristiwa goib di dalam diri manusia sesungguhnya bukan tidak pernah dialami oleh siapapun. Pasti setiap orang mengalaminya. Hanya saja, ada yang menyadari lalu timbullah kekuatan jiwa untuk meyakini adanya peristiwa di luar realitas, ada juga yang menerimanya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Kehidupan di alam keabadian merupakan peristiwa goib, bukan lagi peristiwa di alam dunia. Bila adanya pengalaman goib di dalam diri pada saat di dunia sudah ditunjukkan, tetapi kemudian tetap saja acuh tak acuh, lalu bagaimana dengan peristiwa di alam barzakh?
Anda, saya yakin, pernah mengalami jatuh cinta kepada seseorang yang dirindukan di dalam hati. Saya ingin bertanya, apakah akal anda dapat menyingkirkan kerinduan hati anda atau tidak? Logika cinta tak dapat dihitung oleh akal anda. Apakah, menurut anda, hal yang demikian termasuk peristiwa goib atau semata-mata itu alami saja (biasa-biasa saja)? Saya, sekali lagi, bertanya: ‘Apakah yang disebut goib?’ Sesungguhnya saya tak patut bertanya seperti ini, selain hanya sekadar untuk berbagi pengalaman dalam memaknai sebuah peristiwa yang sangat sulit diterima oleh akal anda. Sekiranya sulit diterima oleh akal mengenai peristiwa goib, dengan indera apalagi yang dapat menerimanya? Ada indera lain di luar realitas. Bila ada indera di lahir sebanyak lima (panca indera), maka satu indera lagi adanya di luar realitas, yaitu hati. Belakangan orang menamainya sebagai indera keenam; indera yang tidak termasuk di alam realitas. Kehidupan di alam keabadian sama sekali berbeda dengan saat anda berada di alam dunia. Semuanya serba tidak sama. Bagaimana anda menyikapinya? Anda sulit memahami apa yang dimaksud dengan sikap, beda halnya kalau anda mendalami adanya asumsi bahwa ‘perbuatan manusia sangat ditentukan oleh bagaimana sikapnya.’ Pendapat dengan sikap terletak pada bagian jiwa atau diri manusia secara terpisah. Bila anda berpendapat, maka akallah yang berfungsi. Sementara bila anda bersikap adanya di mana? Para psikolog membagi kondisi kejiwaan seseorang dengan tiga aspek: id, ego, dan super ego. Anda cenderung menempatkan sikap adanya di mana, apakah berada di akal atau di hati? Saya meyakini, anda pasti menjawab bukan di akal.
Bila anda sepakat bahwa sikap terjadi di alam yang tak dapat dijangkau oleh akal, maka sesungguhnya itu sudah termasuk bagian dari alam yang tak tampak (goib). Sikap anda terhadap guru, misalnya, bagaimana? Setiap orang pasti memperlakukannya secara berbeda. Bagi anda yang bersikap lemah lembut, sopan, menghargai, dan menghormati, maka anda akan memperlakukannya dengan perbuatan yang patut diterima oleh sang guru. Perbuatan (action) merupakan sebuah tindakan yang dapat dilihat oleh panca indera orang lain, bahkan anda sendiri. Tetapi sikap santun, hormat, menghargai adalah suatu aset kejiwaan yang belum dapat secara langsung dimunculkan. Aset ini panutan anda untuk dapat berbuat sebagai orang yang santun, patuh, hormat, dan lain-lain aset kejiwaan. Sikap anda dapat diketahui dari perbuatan (amal) anda. Jadi, sikap sebenarnya adalah cerminan dari diri anda.
Jika tadi membicarakan sikap baik, maka ada juga sikap buruk. Keji dan mungkar, misalnya, sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’an mengenai hakikat orang yang menunaikan solat. Bila dirinci dari perbuatan keji dan mungkar, maka sikap orang tersebut diliputi oleh bisikan setan yang berada di dadanya. Sikap seperti itu tidak berada di hati, tetapi sangat kuatnya bisikan dari dada, maka hatinya pun terkuasai. Dalam keadaan hati yang dikuasai oleh bisikan, maka seseorang akan menampakkan di dalam perbuatannya sebagai manusia jahat. Peran akal, saya pernah mendiskusikan topik ini pada tulisan saya sebelumnya, yang hatinya sudah dikuasai keburukan berada di dalam kekuasaan setan. Akal selalu mengajak seluruh organ tubuh untuk mendukung kejahatan dari dada. Dengan tangannya, dia akan mengajak tangan untuk mengerjakan keburukan, misalnya mencuri. Kemudian, dengan mulutnya, dia akan mengajak untuk berbicara tidak sepatutnya diucapkan. Dan lain-lain anggota tubuh dapat dipengaruhinya untuk berbuat kejahatan. Sikap adanya di balik realitas, yaitu di hati, sedangkan perbuatan atau amal adanya di lahir atau realitas. Maka keduanya, sikap dan perbuatan, seharusnya berjalan seirama bila mengharapkan kebijaksanaan Allah memberikan petunjuk. Atau, dengan kata lain, hati seharusnya didengarkan bila dia menyuarakan petunjuk bila akalnya tidak ingin stres. Akal kerapkali dibebani oleh keinginan palsu (berasal dari nafsu) bila tidak pernah mengikuti apa yang ada di dalam hati (suara hati). Allah SWT berfirman, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Yusuf:53).
Hati orang-orang beriman bertambah tenang bila dia mengingat-Nya. Sikap orang yang akalnya mengikuti hatinya yang tenang berbeda dengan sikap orang yang hatinya ada petunjuk diabaikan. Allah SWT berfirman, “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Fath:4). Apa maknanya? Sekiranya anda menyadari, bahwa ketenangan seorang mukmin sesudah ada sebelumnya ditambah oleh Allah supaya menjadi lebih tenang. Dengan ditambahkannya ketenangan itu, dia bertambah yakin akan kebenaran Allah SWT. Sebab masih banyak orang yang dahulunya beriman kepada Allah dengan hati yang tenang, karena Allah tidak memberi ketenangan (sakinah) dia menjadi berubah, akal merayu dengan kemampuan setan menggodanya. Awas, hal itu sering dialami oleh orang-orang yang mengedepankan akalnya ketimbang suara hatinya! Saya, seperti kebanyakan manusia, pernah mengalaminya sendiri. Alhamdulillah, saat ini, mudah-mudahan seterusnya, saya dikaruniai oleh Allah Azza wa Jalla untuk senantiasa mendengarkan suara hati. Berkat sering berada di dalam keyakinan akan benarnya suara hati, saya pun dapat menyuarakan suara hati di setiap tulisan saya. Semoga, hal ini membawa keberkahan bagi kehidupan orang-orang yang meyakini adanya Hari Kemudian.
Anda pasti masih bingung. Bagaimana mungkin orang beriman dapat berubah menjadi tidak tenang? Saya, seperti anda, memiliki adanya keyakinan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (al-Baqarah:2). Mengapa bukan orang-orang beriman? Allah Azza wa Jalla senantiasa mengajak orang-orang beriman untuk menjadi orang-orang bertakwa. Artinya, keimanan seseorang itu selalu berada dalam situasi labil. Maknanya adalah ketika seseorang masih berada dalam jiwa beriman kepada Allah, maka belum dianggap pasti meyakini dengan sepenuh hati. Yakin dengan sepenuh hati adalah kondisi jiwa yang benar-benar tidak pernah mengabaikan suara hati. Bila anda, misalnya, dijadikan pimpinan di sebuah perusahaan atau pemerintah, tetapi ada kebijaksanaan pemerintah untuk mengakui tentang perbuatan yang melanggar ajaran Islam, sebut saja contohnya jujur, padahal anda sudah mengetahui bahwa itu salah. Salah karena anda tahu bahwa bohong itu bertentangan dengan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saaw. Akan tetapi, Pemerintah dalam hal ini berkuasa terhadap perusahaan anda, maka andapun berupaya untuk menaatinya. Sekalipun dalam keadaan terpaksa. Saya menganalisa posisi hati anda sebagai hati yang lemah. Hati yang masih labil. Situasi jiwa seperti ini, bila Allah tidak memberi ketenangan, maka anda menjadi gelisah. Keimanan anda dipertaruhkan untuk sebuah kedudukan. Inilah posisi keimanan yang berubah dari tenang menjadi tidak tenang. Tetapi, sebaliknya, bila hati anda ditambah ketenangannya oleh Allah Azza wa Jalla, maka anda tidak memiliki rasa ragu akan kebenaran. Jika salah, maka salah. Sekalipun resikonya jabatan anda dipertaruhkan. Jika anda bertakwa, maka dengan tenang anda siap mengatakan tidak, dan siap pula bila jabatan anda dicopot. Sudahkan anda bersikap seperti itu? Jika ya, insya Allah, anda senantiasa termasuk yang mendengarkan suara hati, dan insya Allah anda ditolong Allah dari arah yang tidak diduga sebelumnya. Bahkan anda akan diposisikan oleh Allah SWT menjadi orang mulia. Bersih hatinya dari kekotoran hati, yang berasal dari bisikan di dada.
Pembicaraan ini sungguh menarik, akan tetapi harus di tempat dan waktu yang berbeda untuk membicarakannya. Saya hanya ingin menggarisbawahi, bahwa keyakinan seorang yang beriman kepada Allah SWT merupakan aset yang sangat berharga untuk bekal di alam keabadian. Sebab tanpa keyakinan sulit untuk menerima seluruh ajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saaw. Betapapun anda seorang ulama, sekiranya masih dapat dirongrong oleh bisikan yang menggoda keimanan, maka saya meyakini keimanan anda akan mengalami kemerosotan, sekalipun jabatan ‘kehormatan’ anda tetap disandang. Keyakinan juga bukan sebatas merasakan untuk sesaat adanya keyakinan, tetapi tetap terjaga, istiqamah. Tidak benar anda yakin hari ini, tetapi minggu depan anda ragu. Tidak dapat anda mengatakan ‘tidak’, tetapi di lain waktu anda mengatakan ya. Takwa adalah takut. Jadi bila anda tidak takut lagi berarti anda belum bertakwa. Anda masih belum benar-benar bertakwa. Allah mengajak orang-orang beriman agar bertakwa dengan sebenar-benar bertakwa, bukan takwa hari ini, besok tidak lagi. Allah mengajak di dalam al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (berserah diri)” (Ali Imron:102).
Sekiranya hal ini kurang dapat diterima, saya menyampaikan permohonan maaf. Akan tetapi, bila seandainya penting untuk bahan diskusi lebih lanjut, saya insya Allah menunggu suara hati saya. Jika suara hati berkata silakan, maka insya Allah, saya akan menyambungnya. Sekalipun begitu, bila ada reaksi dari pembaca kurang perlu, saya juga akan menghentikannya dan mengganti dengan topik yang lain.
EmoticonEmoticon