“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik” (al-Furqan:63).
Apa makna dari ayat suci ini? Subhanallah, anda selama ini tidak menduga bahwa yang disebut sebagai hamba adalah seorang manusia biasa, tetapi di sisi Allah dia sangat mulia karena senantiasa bersahaja (rendah hati), low profil, tidak menunjukkan keangkuhan dan menjadi seorang manusia tanpa neko-neko (banyak tuntutan). Allah SWT telah menanamkan kebijaksanaan di dalam hatinya sebagai manusia yang tidak mengurusi hal-hal yang sangat menduniawi. Biasa saja, tidak pantas dalam sikap berlebihan, adanya yang dapat dimakan maka dia makan tanpa banyak permintaan, menerima keadaan sebagai tanda seorang yang tidak banyak keinginan dunia; bukan berarti anti dunia, dunia hanya dijadikan sebagai sandaran untuk bekal di alam keabadian. Inilah ciri-ciri yang tampak menonjol dari seorang hamba Allah. Kuncinya terletak pada keyakinan akan kebahagiaan kampung akhirat bukan kenikmatan dunia yang absurd.
Berita yang muncul dari penjuru dunia mengenai seorang Imam Mahdi menepis anggapan bahwa beliau seorang pemimpin yang berada di dalam kekuasaan. Beliau tidak didudukkan oleh Allah SWT dalam lingkungan pemerintahan yang korup. Justru beliau adalah seorang hamba yang tidak menunjukkan kelebihannya tanpa alasan. Beliau hadir untuk mengajak meningkatkan kemerosotan moral kaum mu’min yang selama ini mengaku akan kebesaran Allah Azza wa Jalla, tetapi tidak menjalankan akan perintah-Nya untuk dipatuhi. Kondisi jiwa seperti itu saat ini melanda banyak orang yang beriman kepada Allah SWT di berbagai pekerjaan yang mengurusi masyarakat. Mereka tampil seolah menjadi pembela kebenaran, tetapi kerapkali terjebak manisnya dunia. Mereka seakan mampu mengurusi kebutuhan masyarakat, namun diabaikan atas nama pengamanan, ketertiban, kesejahteraan, dan keindahan kota serta fasilitas umum lainnya.
Seorang hamba bukan dilahirkan untuk mencengkeram manusia dengan kekuasaan, tetapi menyejahterakannya dengan keadilan. Bila berkuasa, maka dia menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bukan mengambil sesuatu dari tempatnya. Konsep keadilan ini pernah disuarakan oleh Imam ‘Ali karamallahu wajhah (kw.), seorang sahabat sekaligus menantu Rasulullah Saaw. Lihatlah bagimana sejarah Islam membukukan kepribadian beliau yang sangat memegang prinsip keadilan di atas kebaikan. Pemerintahan yang bebas dari nepotisme, korupsi, dan kolusi. Masalah amoral akan dapat segera tuntas apabila akalnya tidak dihasut oleh godaan akan kekayaan, wanita, dan tahta. Alur cerita asli sejarah manusia di seluruh belahan dunia berubah dari adanya asal ajakan atau perintah Allah SWT diciptakan menjadi kebutuhan manusia hanya untuk beribadah. Tak seorang pun yang menjadi merasa berat menghamba di hadapan Allah SWT ketika solat. Serasa solat sangat dibutuhkan untuk menambah kemesraan dalam berhubungan dengan Allah Yang Maha Pencipta.
Adil memang sangat berat. Sebab banyak manusia yang akan kehilangan peluang memperoleh fasilitas sebagai keponakan, sahabat, karib kerabat, anak, menantu, cucu, anggota kelompok kepentingan, dan lain-lain. Sahabat yang paling dekat sekalipun bila adil dijadikan dasar dalam menegakkan suatu pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme tak akan bebas memperoleh belas kasihan. Yang salah tidak disebut baik, atau sebaliknya yang baik dijadikan salah. Jika salah, maka salah dan jika baik maka baik. Prinsip keadilan mengajak manusia menjadi hamba yang bertakwa. Allah menjelaskan di dalam al-Qur’an kepada para malaikat dan orang-orang berilmu bahwa adil ditegakkan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang telah berbuat tanpa pantas dan tidak pantas dalam mengikuti perintah Allah SWT. Mereka yang bertakwa akan memperoleh pahala berupa kenikmatan hidup didunia dan di akhirat. Mereka akan menikmati surga yang dipersiapkan oleh Allah Azza wa Jalla bagi yang senantiasa takut kepada-Nya. Allah SWT berlaku adil sebagaimana firman-Nya, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Ali Imron:18).
Allah Azza wa Jalla senantiasa mengajak manusia untuk berbuat baik bukan ditujukan untuk memenuhi kesenangan dunia, melainkan untuk menjadi orang bertakwa. Dia menjadikan indah pandangan manusia terhadap keluarga, harta, wanita sebagai ujian. Bagi orang-orang bertakwa, maka kemilau emas, cantiknya seorang wanita, berat hati terhadap keluarga sama sekali tidak menjadikannya lupa akan tugasnya sebagai seorang hamba untuk senantiasa menegakkan keadilan. Allah SWT berfirman pada surat yang sama (Ali Imron) ayat sebelumnya, ayat 14, mengenai keberadaan orang-orang yang diuji dengan kesenangan dunia. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Allah SWT mengabarkan kepada mereka yang bertakwa akan pahala di alam keabadian dengan surga, “Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?" Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (Ali Imron:15).
Maka jelaslah, bahwa seorang hamba yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla pasti akan berbuat adil. Sekalipun dia rendah hati, bukan berarti dapat dikompromikan untuk berbuat seolah-olah baik, padahal jahat. Dia merendah di hadapan Allah SWT karena dirinya tak mampu berbuat apa-apa bila dalam timbangan keadilan Allah SWT. Karena itu, dia menjadi takut untuk berbuat sesuai keinginannya sendiri yang cenderung mengajak kepada keburukan. Yang harus dicatat adalah bahwa seorang hamba yang berbuat adil itu pasti orang baik. Tetapi, belum tentu orang baik pasti adil. Bahkan kebaikan seorang hamba yang adil melebihi dari seorang baik secara perilaku yang lahir sebagaimana yang dapat dilihat atau didengarkan mengenai kepribadiannya. Apabila ada orang tua berupaya membantu anaknya memperoleh jabatan, itu karena baiknya orang tua kepada anaknya. Dia tidak ingin anaknya ‘menderita’ bila dalam suatu instansi pemerintahan sebagai seorang staf biasa. Adakah orang tua yang tidak berbuat baik kepada anaknya sendiri? Boleh jadi masih ada orang tua yang sangat kejam kepada anaknya. Tetapi, sesungguhnya Allah SWT menanamkan rasa kasih sayang dalam pasangan suami istri agar berbuat baik kepada seluruh anggota keluarganya. Bila terjadi kasus orang tua membunuh anaknya sendiri, tidak dapat dijadikan klaim bahwa perbuatannya disebabkan hilangnya rasa kasih sayang dalam dirinya karena Allah SWT telah mencabutnya. Tidak. Kesalahan sesungguhnya terjadi karena perbuatannya sendiri. Orang tua yang demikian karena selalu memperturutkan hawa nafsunya. Dia tidak mengindahkan perkataan Allah untuk menghindar dari perbuatan buruk karena dorongan nafsu (amarah yang dihembuskan setan di dadanya). Andaikan dia tahu bahwa Allah memerintahkanya untuk berbuat adil dalam berbagai hal, maka dia cenderung tidak akan menuruti hawa nafsunya. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (an-Nisa:135).
Perhatikan bagaimana Allah SWT mengingatkan agar berbuat adil, apakah orang tua yang baik hati atau orang tua yang jahat terhadap anak-anaknya atau karib kerabatnya. Baik menurut pemahaman orang tua terhadap anaknya belum tentu adalah yang terbaik di mata Allah Azza wa Jalla. Apalagi orang tua yang berbuat jahat. Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui kebaikan makhluk-Nya dalam pandangan-Nya sebagai Sang Maha Pencipta.
Sekali lagi seorang hamba yang takwa, dia senantiasa berbuat adil, baik hati, tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa mendudukkan segala persoalan berdasarkan petunjuk Allah Azza wa Jalla. Sekalipun dia tidak menunjukkan kelebihannya, kecuali atas petunjuk Allah, dia tidak merasa minder atau rendah diri. Optimis menjadi bagian yang selalu menghiasi jiwanya. Dia tidak pernah berputus asa atas apapun yang menjadi kehendak Allah SWT karena diketahui olehnya bahwa semua itu merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada dirinya. Bagaimana sejarah yang ditulis di dalam al-Qur’an, penderitaan Ya’qub atas hilangnya Yusuf putra kesayangannya ketika pada saatnya dia memerintah putra-putranya yang sangat berdosa atas perbuatannya untuk mencari Yusuf a.s. Beliau meminta anak-anaknya agar jangan berputus asa dalam menemukan Yusuf nabi Allah. Al-Qur’an menceritakan kepada kita sebagai berikut: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" (Yusuf:87).
Hamba yang bersahaja dalam kehidupan merupakan bukti nyata betapa Allah telah memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki akan kebenaran Allah bagi yang menjalankan perintah Allah dengan sepenuh hati. Perintah Allah SWT tidak dapat ditawar-tawar untuk tidak dijalankan. Allah SWT menghendaki adanya kebahagiaan bagi siapapun yang mengikuti perintah-Nya. Sebaliknya, orang-orang yang berbuat sombong di hadapan Allah, maka Dia sangat keras dan sangat pedih siksa-Nya. Malaikat berseru kepada manusia melalui Nabi Allah Saaw agar mengikuti perintah Allah Azza wa Jalla. Malaikat adalah makhluk yang sangat setia menjalankan perintah Allah SWT dan tak sekalipun membantahnya, tidak seperti iblis. Allah SWT sangat bangga kepada para malaikat, “Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud” (al-A’raf:106).
EmoticonEmoticon