“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah : 21).
Apa makna dari ayat di atas? Allah Swt telah memerintah kepada segenap umat manusia (termasuk kaum mukmin) untuk hanya menyembah Allah Yang Maha Pencipta, tidak menyembah kepada selain-Nya. Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Maka, yang lain selain Allah pasti bukan Tuhan yang menciptakan makhluk-Nya. Dia lah Allah Tuhan Yang Mahaesa, tiada yang patut untuk disembah selain Dia.
Penegasan “Sembahlah Allah” adalah demikian pemahamannya. Sekiranya ada kaum mukmin yang masih “menyembah” secara bersamaan; menyembah Allah juga menyembah kepada selain-Nya, berarti telah menduakan sesembahan (menduakan Tuhan). Inilah yang dikenal dengan syirik atau menyekutukan Allah (menjadikan yang lain sebagai tandingan-Nya).
Dalam peribadatan kepada Allah, maka yang lain (selain Allah) tidak dapat dikelompokkan sebagai beribadah kepada-nya sepanjang tidak mendudukkan ‘yang lain’ itu sama dengan Tuhan. Menghormati guru, orang tua, teman, kaum muttaqin dan ‘yang lain’-nya tidak termasuk menyembah. Betapa pun kita membungkukkan badan, mencium tangan atau mempersilakan kaum muttaqin agar menempati tempat duduk yang lebih tinggi dari kita, itu tidak termasuk menyembah kepada mereka.
Pemahaman yang keliru bila ada seorang yang menghormati gurunya dengan cara membungkukkan badan dipandang sebagai mengkultuskan dia (menyamakan seperti menyembah Allah). “Menyembah” adalah suatu perbuatan yang menyengaja di dalam hati seseorang membesarkan ‘yang lain’ dapat berbuat sebagaimana Allah berbuat, lalu menetapkannya patut untuk disembah (dituhankan). Misalnya, sebuah benda (keris, batu ali-ali dan benda-benda lainnya) disandarkan sebagai memiliki kekuatan supra natural yang dapat memenuhi segala keinginannya, maka benda tersebut telah dianggap sebagai sesembahan (thoghut). Karena itu, bila ada seseorang yang di dalam hatinya menganggap ‘yang lain’ itu sebagai sesembahan untuk dijadikan sebagai ‘yang dapat’ memenuhi keinginannya, maka orang tersebut telah berbuat syirik.
Itulah sebabnya, Allah Swt menegaskan agar hanya menyembah Allah, tidak menyembah selain kepada-Nya. “Selain” bermakna di luar Dia (Allah) yang disamakan ‘memiliki’ kemampuan berbuat sebagaimana Allah Berbuat. Padahal, “Selain” itu dapat berbuat karena Allah Yang Maha Berkehendak menjadikan “Selain” dapat berbuat sebagaimana yang dikehendaki-Nya. “Selain” itu adalah makhluk-Nya. Boleh jadi benda mati, benda hidup (misalnya, manusia, pohon dan hewan) atau benda yang tak tampak (seperti angin, jin, malaikat).
Maka, yang disebut “Menyembah” adalah tunduk dan merendahkan diri di hadapan kemahabesaran-Nya yang diyakini di dalam hatinya sebagai Tuhan. Menundukkan saja tanpa merendahkan diri belum dapat disebut menyembah kepada yang ditundukinya. Begitu juga, bila menundukkan dan merendahkan diri di hadapan sesama makhluk-Nya, tetapi di dalam hatinya tidak ada keyakinan sebagai Tuhan, maka juga tidak dapat dipandang telah berbuat menyembah kepadanya. Misalnya, seorang anak yang mencium tangan kedua orang tuanya sambil menundukkan badannya, maka tidak dapat anak tersebut dianggap telah menyembah kepada kedua orang tuanya, sebab anak tersebut pasti meyakini bahwa mereka bukanlah Tuhan. Ketundukkan anak di hadapan orang tuanya lebih didasarkan sebagai bentuk penghormatan, bukan penyembahan. Sebagaimana malaikat mulia yang bersujud di hadapan Adam a.s. memenuhi perintah Allah, tidak dapat dianggap bahwa malaikat yang mulia telah menyembah Adam a.s. karena telah sujud di hadapannya.
Bahkan sebaliknya, kita dapat mengenali seseorang sebagai ahli syirik bukan dari gerakan atau perbuatan anggota tubuhnya, melainkan dari perkataannya yang adalah cerminan hatinya. Seperti seseorang yang, melalui lisannya, dia berkata-kata bahwa pendapatnya mutlak benar, sedangkan perkataannya itu hanyalah sebuah kajian atas otaknya mengenai suatu perkara (baik menyangkut peribadatan maupun yang lainnya). Memutlakkan pendapat sebagai paling benar berarti telah membuat tandingan kebenaran yang hanya Allah lah Yang Memiliki-Nya. Pendapat manusia sangat relatif kebenarannya, tidak mutlak.
Pendapat adalah produk otak, bukan hasil yang diterima berdasarkan petunjuk langsung dari dalam jiwa (ilham, laduni robbaniyyah atau wahyu). Pendapat lebih merupakan hasil telaah akal berdasarkan olahan dan analisa dengan menggunakan suatu metode yang sudah dibakukan oleh rumusan manusia. Sedangkan pesan-pesan luncuran (yang bersumber dari dalam jiwa atau hati atau ruh atau diri) lebih merupakan ilham atau petunjuk (proses pengajaran yang diturunkan karena kekuasaan Allah atas kehendak-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki). Karena itu, petunjuk sangat berbeda cara pengungkapannya dalam menjelaskan suatu topik pembicaraan.
Pemutlakan pendapat termasuk syirik. Sedangkan pesan-pesan luncuran, karena tidak didasarkan oleh nafsu keinginan merasa paling benar, mengikuti apa yang telah diproporsionalkan oleh kehendak-Nya. Pesan-pesan luncuran bersifat mempertegas apa yang sudah ada di dalam firman-Nya atau hadits Nabi-Nya Saaw. Inilah kemahabijaksanaan Allah (Al-Hikmah) dalam mengajarkan ilmu-Nya kepada orang-orang yang tunduk dan patuh kepada-Nya.
Dengan kemahabijaksanaan-Nya, kaum mukmin dapat mengenal Tuhannya. Gunung yang tinggi dapat didaki, lautan pun dapat diseberangi, maka dalamnya hati tentu saja juga dapat dipahami. Manusia sesungguhnya merupakan makhluk yang dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla karena Dia (Allah) telah menganugerahkan akal kepadanya. Karena itu, Allah Swt berkehendak agar manusia, dengan akalnya, dapat memahami maksud Allah menciptakannya.
Kita sebenarnya memiliki peluang untuk menyembah kepada Allah dengan semurni-murninya. “Menyembah,” sebagaimana penjelasan di atas, tidak dimaksudkan agar para pelakunya (Penyembah) sebatas menyembah tanpa mengetahui siapa dan bagaimana yang disembah. Pengetahuan akan Allah (sebagai Tuhan Yang Patut Disembah) sudah sepatutnya untuk dimiliki sehingga kita dapat mengenali diri-Nya. Mengenal diri-Nya hanya dapat diketahui sekiranya kita lebih dahulu mengenal diri sendiri.
Semua itu dibutuhkan agar kita, sekali lagi, tidak salah dalam “Menyembah.” Praktek beribadah masih banyak ditemukan tidak sebagaimana seharusnya, selain hanya sekedarnya saja. Apa pun mazhab pemikiran yang diikutinya, sesungguhnya bukan itu yang menjadi penentu kesungguhan dalam beribadah kepada-Nya. Bila telah terpilih, sesuai keyakinan sesudah mengkaji sebuah mazhab, maka hendaklah tinggalkan perseteruan merasa ‘paling benar.’ Ini adalah jebakan iblis laknatullah ‘alaih kepada para pembuat perseteruan tanpa disadari dengan sepenuh keyakinan.
Kekalahan umat Islam lebih disebabkan oleh keangkuhan diri dalam pelaksanaan beribadah kepada Allah Yang Maha Mulia. Tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi yang mulia Saaw. adalah sangat relatif bagi masing-masing pengikut mazhab pemikiran. Para Imam mazhab sendiri tak pernah saling menyalahkan, bahkan beliau-beliau justru saling melengkapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dianggap tepat bagi sementara statement-nya dalam mengemukakan keputusan terhadap suatu perkara yang dihadapi umat Islam.
Anehnya, orang-orang yang lahir kemudian menyoal dengan kemampuan akalnya seolah benar pendapatnya atas suatu perkara yang dibawakan oleh para Imamnya. Sedangkan yang lain dipandang salah dan perlu dipersalahkan. Inilah, sekali lagi, jebakan iblis untuk menjerat kaum muslim ke dalam pertengkaran sebuah keyakinan yang diusung oleh Imamnya masing-masing.
Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa sangat “prihatin” menyaksikan umat Rasulullah Saaw saling bermusuhan dalam hal pelaksanaan tata cara peribadatan. Seandainya Dia (Allah) tidak Bijaksana dalam menyaksikan semua perbedaan ini, tentu saja, Dia pasti akan murka menurunkan bala kepada umat Islam yang masih menyimpan ketidakmampuan otaknya menjangkau kehendak Allah Azza wa Jalla.
Apa yang dikehendaki Allah Swt bukan itu, yaitu pertengkaran antara umat Islam sendiri, melainkan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah dan larangan Allah (takwa). Semuanya sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an, di antaranya tidak diperbolehkan memutus tali silaturahmi. Perkara semacam ini telah disebut pada ayat 103 surat Ali Imron:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمت الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تهتدون
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Peringatan Allah tersebut sudah sangat jelas, yakni “…dan janganlah kamu bercerai berai.” Dia (Allah) dalam hal ini, sebagaimana yang dikehendaki-Nya, “…Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Secara logika, dari kalimat tersebut, siapa pun yang masih bertengkar dalam pelaksanaan peribadatan kepada Allah, maka Dia (Allah) pasti tidak akan memberi petunjuk-Nya. Ketetapan Allah atas orang-orang yang tidak mengikuti perintah Allah Swt sebagaimana yang difirmankan-Nya, maka akan berlaku persis gambaran ayat berikut:
والذين كذبوا بآياتنا صم وبكم في الظلمات من يشإ الله يضلله ومن يشأ يجعله على صراط مستقيم
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barang siapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus” (Q.S. Al-An’am : 39).
Maka, sekiranya ada yang disesatkan Allah, tak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.
من يضلل الله فلا هادي له ويذرهم في طغيانهم يعمهون
“Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan” (Q.S. Al-A’raaf : 186).
Ajaklah Hati Untuk Merendah Kepada Allah
Bicara hati telah dijelaskan pada tulisan-tulisan saya sebelumnya (silakan baca untuk mengetahui bagaimanakah hati itu sesungguhnya?). Kemusykilan terhadap aspek yang belum dikenali dapat dimaklumi bagi sementara kaum mukmin. Kita sebagai kaum mukmin tidak seharusnya menolak apa yang menurut akal sulit dipahami, selain kita berusaha mengenal, mengetahui dan menghayatinya lebih dahulu.
Selama ini, masih banyak kaum mukmin yang tingkat kemampuan untuk memahami ayat-ayat Allah baru sebatas diketahui secara logis semata-mata, belum mencoba memasuki ranah yang termasuk ke dalam lingkup yang sesungguhnya (hakikatnya).
Proses pembelajaran yang disuguhkan di lingkungan pendidikan, agama maupun umum, masih mendasarkan kepada pemikiran logis semata-mata. Maka, yang terjadi adalah terdapat banyak para murid atau mahasiswa berhenti sampai tingkat logis, belum mencapai ke dalam wilayah yang tidak logis. Padahal, sesuatu yang logis ada karena tersanding adanya yang tidak logis.
Kekeliruan sementara ini dari kalangan pemikir adalah memisahkan sesuatu yang tidak logis (sulit dijangkau oleh akal) dengan sesuatu yang logis (sangat mudah dimaklumi oleh akal) dari kehidupan di alam dunia. Prinsip keilmuan yang mendudukkan hanya pada batas-batas yang mudah dimaklumi oleh akal akan mempersulit penemuan-penemuan yang bersifat abstrak.
Konkret tidak sama dengan abstrak adalah sudah sangat jelas. Akan tetapi, memisahkan yang abstrak dari yang konkret tidaklah logis. Adakah yang dapat memahami maksud kalimat tersebut?
Anda, misalnya, adalah seorang manusia yang dilahirkan ke alam dunia tanpa mengetahui apa-apa sebelumnya ketika masih berada di dalam rahim ibu. Bahkan, ibu anda pun tak mengerti akan janinnya sendiri saat bergeliat di dalam perut. Dokter kandungan hanya mencoba menjelaskan, dengan alat bantunya, bahwa janin tersebut telah berkontraksi. Adakah dokter yang mengetahui bahwa karena Yang Maha Hidup janin menjadi beraksi di dalam perut? Pokok-pokok pengetahuan kedokteran hanya menjelaskan apa yang dapat dilihat secara kasat mata dengan alat bantu, tidak menyinggung bahwa gerakan janin disebabkan adanya Yang Maha Hidup (yang tak mampu akal menjangkaunya).
Adanya gerakan lahir yang dijangkau oleh akal adalah logis, sedangkan hidupnya gerakan janin disebabkan ada-Nya Yang Maha Hidup dimaklumi sebagai tidak logis (akal sangat sulit menjangkaunya). Dengan contoh kasus janin manusia di dalam rahim ibu adalah sebuah fakta adanya hubungan antara yang logis dan yang tidak logis. Karena itu, sesuatu yang logis tak dapat dipisahkan dengan sesuatu yang tidak logis. Saya menyebutnya sebagai ada-nya adalah karena ada-Nya. Jadi, logis bila ada kehadiran manusia sebagai makhluk disebabkan karena ada-Nya Allah Hadir sebagai Kholik (Sang Maha Pencipta). Sebaliknya, tidak logis bila ada janin tanpa dihidupkan oleh Yang Maha Hidup dapat hidup sendiri hingga mampu berbuat sebagaimana kehendaknya sendiri.
Diri-nya berada di dalam kekuasaan diri-Nya. Manusia, sebagai diri yang diciptakan, tak mungkin hadir sekiranya tak ada diri Yang Maha Pencipta. Hati atau ruh atau jiwa atau diri adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta, maka mustahil diri (nya) terpisah dari diri (Nya) Yang Maha Kuasa atas diri-diri manusia. Jadi, terdapat hubungan yang logis bila diri (nya) berada di dalam kekuasaan-Nya. Sekali lagi, mustahil diri (nya) lepas dari diri (Nya).
Sebagai makhluk yang diciptakan, maka diri (nya) pasti tak dapat berbuat sendiri jika bukan karena kehendak Yang Maha Pencipta untuk menjadikan (nya) berbuat. Dari sini, semua makhluk (khususnya manusia) hanya dapat berbuat jika dikehendaki oleh Dia sebagai Tuhan Yang Menguasai diri-diri manusia tersebut. Hal demikian sudah menjadi ketetapan Dia Yang Maha Pencipta dalam Mengurus semua makhluk ciptaan-Nya.
Hati, yang adalah jiwa juga ruh atau diri, sebenarnya telah dipersiapkan untuk tunduk dan merendah kepada Allah Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta. Tidak akan diciptakan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Nya. Allah Swt telah memfirmankan-Nya di ayat 56 surat Adz-Dzariyat:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Itulah sebabnya setiap diri (jiwa atau hati atau ruh) tak dapat menghindar dari menyembah kepada Allah Swt. Bagaimana cara menyembah kepada-Nya sudah sangat jelas dari penjelasan Nabi-Nya Saaw. Sekiranya terdapat sedikit perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, menurut hemat saya, bukanlah pokok yang dipersoalkan, melainkan dengan sikap toleransi untuk tidak saling menyalahkan dan membenarkan sendiri tanpa menghilangkan hakikat dari menyembah itu sendiri.
Oleh karena itu, pengaruh hati atau ruh atau jiwa atau diri dalam prosesi menyembah sangat menentukan benar tidaknya menyembah kepada-Nya. Jika hatinya (ruhnya atau jiwanya atau dirinya) berpaling dari Allah, betapapun baik dalam bacaan dan gerakannya, tidak dapat menjadi ukuran sudah dinilai telah menyembah kepada-Nya. Ketentuan untuk melaksanakan solat secara khusyu’ tak dapat dipisahkan dari kedudukan hati atau ruh atau jiwa atau diri sebagai seorang hamba yang merasakan takut menghadap kepada-Nya. Kualitas hati atau ruh atau jiwa atau diri sedang dipertaruhkan di hadapan kemahabesaran-Nya.
Hati atau ruh atau jiwa atau diri merupakan poros penentu peribadatan seorang hamba kepada Tuhannya. Apabila tertutup hatinya, maka tertutup pula peluang cahaya Allah memancar ke dalam dirinya, yang juga adalah hatinya atau ruhnya. Kita tak dapat membiarkan hati atau ruh atau jiwa atau diri menjauh dari menyembah kepada-Nya.
Peribadatan atau kegiatan menghambakan diri kepada Allah Swt sangat sulit dilakukan apabila hatinya tidak sejalan dengan apa yang menjadi kehendak Allah. Apa pun yang dikehendaki oleh Allah, hati seolah mengerti tanpa meragukannya. Saya menyatakan demikian bukan sekedar ingin dianggap telah mengerti apa yang dikehendaki oleh Allah, selain semuanya sudah sangat jelas terdapat di dalam ayat-Nya yang mulia:
قل من كان عدوا لجبريل فإنه نزله على قلبك بإذن الله مصدقا لما بين يديه وهدى وبشرى للمؤمنين
“Katakanlah: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman“ (Q.S. Al-Baqarah : 97).
Al-Qur’an yang saat ini sudah diketahui oleh umat manusia, dahulunya termuat di hati Nabi mulia Saaw atas seizin Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Allah Swt tidak menyerahkan kepada Rasul-Nya yang mulia Al-Qur’an seperti Kitab yang kita lihat saat ini. Perkataan-perkataan Allah disampaikan oleh Jibril a.s. ke dalam hati beliau Saaw, kemudian dilisankan oleh mulut mulia beliau kepada umat manusia.
Mengapa harus melalui hati beliau? Mengapa tidak diberikan saja langsung oleh Jibril a.s. ke tangan mulia beliau? Inilah yang kebanyakan umat manusia tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Perkara hati tidak diberi perhatian yang sepatutnya. Padahal, hati atau ruh atau jiwa atau diri merupakan bagian dari keberadaan manusia yang akan terus hidup untuk menghadap kepada Tuhannya.
Jika hati tidak diperhatikan, bagaimana mungkin manusia akan mengenal kehendak-Nya? Mengetahui kehendak-Nya berarti telah mengenali Allah. Hatilah yang mengetahui-Nya, bukan akalnya. Ke dalam hatilah wahyu Allah diturunkan kepada Baginda Nabiuna Muhammad Saaw.
Jika Nabi Saaw telah menerima wahyu dari Allah Yang Maha Mulia, adakah hati umatnya akan menerima pengetahuan dari Dia Yang Maha Bijaksana? Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Menepati Janji-Nya kepada kaum mukmin yang terus menerus berkhidmat kepada-Nya dengan menjadikan hatinya tak pernah putus untuk mencintai-Nya. Kecintaan kepada Allah akan mengatantarkan kaum yang meyakini-Nya menjadi kaum yang dicintai oleh diri-Nya.
يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لآئم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Maidah : 54).
Ayat di atas terkait dengan keberadaan kaum mukmin dari waktu ke waktu yang ternyata ada saja di antara mereka yang tidak konsisten atas pengakuan keimanannya. Bahkan banyak di antara mereka yang murtad dari agama Islam. Dalam perjalanan waktu, Allah Azza wa Jalla akan mendatangkan kaum mukmin yang senantiasa mencintai Allah dan Allah pun cinta kepada mereka. Cinta-Nya itu sangat dirasakan di hatinya. Allah Swt telah menanamkan rasa kecintaan di dalam hati kaum mukmin yang telah didatangkan oleh Allah tersebut. Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang senantiasa di hatinya menyebut asma-Nya di setiap keadaan dan waktu, yaitu saat berdiri, duduk dan berbaring baik pagi, siang, sore maupun malam hari.
“Kaum yang didatangkan” sebenarnya adalah kaum beriman, yang karena kehendak-Nya, lahir di sekitar peradaban umat manusia yang sudah sedemikian tidak lagi memperhatikan kualitas keimanannya. Mereka tidak terbius oleh manisnya rayuan, godaan, hasutan dan iming-iming kenikmatan duniawi. Kehadirannya telah ditetapkan oleh kekuasaan Allah untuk memberi peringatan sekaligus menolong orang-orang yang membutuhkan bimbingan dan pembinaan keimanan.
Hati mereka tak pernah berhenti mengingat Allah. Allah pun rido mencurahkan karunia-Nya untuk membimbing mereka menuju kepada cahaya-Nya. Adakah mereka mengikuti aktivitas di lingkungan masyarakat? Dunia merupakan bagian yang dapat mengantarkan mereka dalam meraih kehidupan bahagia di akhirat sebagaimana yang dijanjikan Allah untuk orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jadi, mereka adalah orang-orang yang bekerja, memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarganya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Allah Swt telah melebihkan mereka dari yang lainnya. Tingkat keyakinannya sangat kuat. Tidak ada sedikitpun rasa ragu atas berita apa pun yang muncul di hatinya. Kekuatan dzikir di dalam hati benar-benar tertanam dalam kehidupan mereka. Ibadah mereka bukan sebatas melaksanakan tanpa memahami hakikatnya. Allah lah andalannya; apapun mengait dengan kekuasaan-Nya. Pikirannya mengikuti bagaimana hatinya: sikap, ucapan, dan perbuatannya mendasarkan pada suara hatinya. Tiap saat menunggu petunjuk yang datangnya dari hati. Baginya, suara hati merupakan petunjuk praktis yang membantu mereka melaksanakan perintah Allah secara langsung, di luar (termasuk juga) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an. La ilaha illallah, La quwwata illa billah, Allahu Akbar, Masya Allah, insya Allah mereka adalah para ahli hikmah yang sedang menempuh perjalanan menuju Tuhannya (Allah Azza wa Jalla).***
3 komentar
Subhanallah...
Pak Ahmad, ada rasa tenang di hati saya sewaktu membaca posting ini. Hati ini tersenyum...
Ya Allah, cahaya Ramadhan telah sampai, ringankan hatiku utk menyambutnya dgn gembira. Penuhi barokah di dalamnya dan berilah rahmat kepada hamba2Mu yg bertaqwa. Kuharap iradah dan hidayah-Mu.. izinkan aku masuk ke dalam golongan hamba-Mu yg sholeh, yg Kau beri karunia al-Hikmah dan rahmat-Mu serta Kau beri jalan penuh dgn kesejahteraan dunia dan akhirat. Amin ya Robbal alamin....
Terima kasih Pak Ahmad.
Wassalam,
Eddy-Shaliq, Samarinda.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah!
Shalik bersyukurlah! Allah Swt telah banyak memberi karunia kepada anda tanpa disadari! Begitu banyak, maka anda sulit mengenalinya.
Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat untuk mengenali apa sajakah karunia yang telah dan akan dianugerahkan Allah itu? Anda lah yang hanya dapat merasakan sendiri, insya Allah!
Karena itu, sambutlah dan temui dia (Ramadhan) sebagaimana anda menemui Tamu Agung yang menghampiri keluarga anda! Berpuasalah dengan sungguh-sungguh dengan mengenali hakikatnya, bukan sebatas mencegah dari lapar dan dahaga!
Semoga keberkahan, ampunan dan rahmat menghampiri anda. Amin!
Salam dariku,
Ahmad
Insya Allah, Pak Ahmad...
Alhamdulillah, amin ya Robbal alamin.
Terima kasih atas curahan do'anya Pak..
Aku mohon ridho-Mu ya Allah.
Wassalam,
Eddy-Shaliq, Samarinda.
EmoticonEmoticon