Bermunajat atau berdo’a adalah bermohon kepada Allah atas apa yang menjadi hajat atau kebutuhan kita. Perlukah kita bermohon kepada Allah Yang Maha Pencipta? Mengapa kita harus bermunajat? Tidak cukupkah apa yang sudah kita lakukan sehingga kita harus berdo’a? Sangat menarik apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan kaum muslim dalam beribadah kepada Allah. Patutkah di dalam beribadah tak perlu berdo’a? Adakah nilai utama munajat dalam ibadah?
Menyembah dan Memohon Pertolongan
Asumsi kaum muslim wajib berdo’a di antaranya lahir karena adanya kebutuhan terhadap apa yang tidak dapat dipenuhi segala kebutuhannya jika tidak ditolong oleh Allah. Menjadi sebuah kepastian bahwa manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhanya jika tiadanya pertolongan Allah. Pernyataan (firman) Allah akan tiadanya kekuasaan manusia dalam memenuhi segala kebutuhannya telah diterangkan pada ayat-Nya.
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).
Allah Yang Maha Penyayang kepada kaum mukmin mengajarkan untuk dipahami dan diikuti bahwa jika beribadah hanya ditujukan kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Hubungan seorang hamba dengan Allah telah diikat oleh ketetapan yang difirmankan Allah di dalam kitab-Nya. Ketetapan Allah, sebagaimana ayat di atas, disebabkan masih banyak kaum mukmin yang beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya (syirik).
Oleh karena itu, jika Allah telah mengajarkan kepada umat Rasulullah saw agar “Hanya kepada-Mu kami menyembah," bermakna bahwa tak boleh sedikit pun di dalam hatinya terikat oleh selain Allah. Kekuasaan Allah atas seluruh hamba-Nya menyebabkan turunnya kemurkaan Allah jika hatinya masih terikat kepada selain-Nya.
Ajakan untuk “Hanya menyembah kepada Allah,” telah diikrarkan. Konsekuensinya adalah setiap jiwa atau diri atau hati atau ruh kaum mukmin harus terikat oleh ikrar (perjanjian) tersebut. Penegasan Allah merupakan Hak Mutlak Allah atas kaum mukmin dalam beribadah kepada-Nya. Ibadah, dengan demikian, tidaklah hanya teraktualisasikan di tataran dhohir, melainkan harus benar-benar tertanam di dalam hati. Maknanya adalah pengakuan keimanan seseorang tak cukup diwujudkan dalam beribadah secara dhohir (syari’ah), melainkan juga hakikat atau yang sesungguhnya dalam beribadah.
Arti ibadah secara lughowiyah (kebahasaan) adalah menunjukkan rasa pengabdian seorang yang telah mengaku beriman kepada Allah sebagai seorang hamba di dalam kedudukan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta. Pengabdian (Penghambaan) seorang hamba seharusnya diwujudkan dengan memuliakan Allah setulus hati tanpa keterpaksaan dan dilakukannya dengan cara merendahkan diri dan rasa takut.
“Menghamba,” dengan begitu, berarti merendahkan diri, bukan menyombongkan diri di hadapan kemahabesaran-Nya. Allah Swt telah memuliakan Malaikat-Nya karena penghambaan (ibadah) kepada Allah tidak dilakukan dengan menyombongkan diri dan tidak pernah merasa letih.
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih” (QS. Al-Anbiyaa’: 19).
Patutkah umat Rasulullah Saw harus menyombongkan diri dalam beribadah? Jawabnya tentu tidak! Akan tetapi, dalam prakteknya, masih banyak yang merasa bangga diri dalam beribadah kepada Allah. Apa indikasinya? Wujud seorang telah menyatakan diri sebagai mukmin adalah tidak adanya keraguan sedikit pun atas apa yang difirmankan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Prakteknya justru banyak muncul keragu-raguan atas ayat Allah ketika Allah berkehendak atas diri kaum mukmin untuk tidak pernah melupakan Allah di dalam hatinya.
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raaf: 205).
“Melupakan” Allah berarti meniadakan Dia Yang Maha Goib. Kita sering mengabaikan apa yang menjadi kehendak-Nya karena menganggap Allah tak dapat dicapai oleh penglihatan (dhohir). Sedangkan Allah Swt sangat menghargai seorang hamba karena dalam beribadah dilandaskan dengan ketulusan hatinya sekali pun Allah tidak dilihat oleh mata dhohirnya.
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada adzab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan shalat. Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu)” (QS. Faathir: 18).
Bermunajat kepada Allah adalah salah satu wujud ketidakberdayaan kita terhadap apa yang tidak dapat kita penuhi. Maka, bagi kaum mukmin, Allah lah yang menjadi sandaran-Nya. Akankah kaum mukmin telah benar-benar memahami apa yang dikehendaki oleh Allah terhadap ketetapan-Nya bahwa Allah “Dapat Memenuhi segala yang dibutuhkannya?” Alangkah ruginya jika Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana telah menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Pemberi lagi Maha Penyayang direspon dengan tidak setulus hati. Adakah hati kita meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa sesungguhnya Allah sangat dekat ke hati daripada urat leher hamba-Nya?
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (QS. Qaaf: 16).
Sudah sangat jelas bahwa hatilah yang dijadikan ‘media’ oleh Allah dalam mendekati seorang hamba, dan bukan ke dhohirnya (akalnya). Oleh karena itu, tidaklah cukup kita hanya mengucapkan “Allah” di lisan, tetapi di hatinya tiada. Adakah di dalam solat, sebagai salah satu wujud utama dalam beribadah kepada Allah, kita mengagungkan Allah di lisan, sedangkan hatinya tidak diikutsertakan memaklumi bahwa memang demikian lah Allah itu (Agung)?
Adakah di dalam beribadah seorang mukmin memohon kepada Allah pertolongan dengan setulus hati? Allah Yang Maha Bijaksana telah mengajarkan untuk segenap kaum mukmin agar mengikuti apa yang telah difirmankan-Nya, bahwa “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” Karena sesungguhnya manusia pada mulanya tidak mengetahui apa-apa terhadap apa yang dikehendaki Allah, maka turunnya ayat ini menjelaskan agar “Tidak menyembah kepada selain Allah, juga sangat dilarang memohon pertolongan kepada selain-Nya.”
Pengajaran Allah melalui firman-Nya tersebut diarahkan agar kaum mukmin tidak boleh melupakan diri-Nya yang telah mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Karena itu, pengajaran untuk hanya menyembah kepada Allah tidak boleh dipersandingkan dengan memohon pertolongan kepada selain-Nya. Adakah kaum mukmin tidak memahami bagaimana Allah mengajarkan hal demikian?
Baca: Pengajaran Al-Quran
Saya meyakini tidak seluruh kaum mukmin memahaminya. Andaikan semuanya paham, maka seharusnya menjalani apa yang dipahaminya. Jika tidak, maka sesungguhnya tidak menyadarinya. Atau, jika tidak menyadari, maka kebanyakan kaum mukmin melalaikannya. Sekali saja kaum mukmin melupakan-Nya, maka mereka akan melupakan apa yang telah dipahaminya. Pemahamannya tetap ada, tetapi pengamalannya yang tidak ada.
Sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, maka Allah berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan-Nya. Bagaimanakah cara orang menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah adalah bagaimana pula orang meresponnya dengan tingkat keyakinannya. Maka, tak heran jika antara satu orang atau satu kelompok berbeda tingkat keyakinannya dengan satu orang atau satu kelompok lainnya, berbeda pula dalam mengamalkannya.
Do’a Memohon Petunjuk
Ketidakberdayaan kita atas pemenuhan keinginan tidak seharusnya dijalankan seolah-olah mampu dengan sendirinya, melainkan sepatutnya memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Keinginan manusia, ternyata, berbeda dengan kehendak Allah. Keinginan diri (nafs) cenderung mengajak kepada kejahatan kecuali nafs (nafsu) atau diri yang dirahmati oleh Allah.
Maka, apabila keinginan diri didahulukan, jelas tidak akan berkuasa mendatangkan rahmat atau kemanfaatan bagi diri itu sendiri. Berbeda jika mendahulukan kehendak-Nya.
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman" (QS. Al-A’raaf: 188).
Hanya dengan kehendak Allah lah rahmat atau kemanfaatan dapat diraih. Adakah setiap diri dapat memperoleh kemanfaatan jika dilandaskan atas keinginannya sendiri? Alangkah tidak bijaksananya jika pernyataan Allah harus dihadapkan dengan ketidakmampuan akal manusia yang tidak dapat menjangkau hal-hal goib. Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Megetahui telah menjelaskan bahwa Allah lah yang menjadikan diri mampu menjauhkan dari kejahatan karena rahmat-Nya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf: 53).
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Adakah kita tidak patut bersyukur atas rahmat Allah? Alangkah sombongnya kita bila tidak pandai berterima kasih jika apa yang selama ini dianugerahkan oleh Allah kepada kita segala kenikmatan. Ayat-ayat Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana telah diturunkan untuk menjelaskan hal-hal yang akal tak mampu mengetahuinya dengan sebuah kepastian, melainkan dugaan semata-mata. Kepastian akan segala yang difirmankan-Nya menjadikan manusia beroleh keberuntungan. Setiap perkataan-Nya senantiasa mengandung Al-Hikmah dan keberkahan. Maka, mengikuti firman Allah berarti telah mengikuti petunjuk-Nya.
Akan tetapi, petunjuk Allah di dalam kitab-Nya ternyata membutuhkan petunjuk lagi yang didatangkan Allah ke dalam diri atau jiwa atau hati atau ruh kita. Mengapa? Ayat-ayat Allah begitu sulit untuk dijangkau hanya dengan menyandarkan kepada keterbatasan akal. Karena itu, sangat bijaksana apabila ayat-ayat Allah yang telah dengan jelas (muhkamat) menerangkan kepada kaum mukmin diikuti. Misalnya, kelanjutan ayat memohon pertolongan hanya kepada Allah yang sudah disebut di atas (QS. Al-Fatihah: 5), Allah Swt berfirman:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6).
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS. Al-Fatihah: 7).
Baca: Aplikasi Petunjuk Allah
Ayat ini sangat mengait dengan ayat sebelumnya, bahwa bermohonlah pertolongan kepada Allah agar ditunjuki ke jalan yang lurus, bukan jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat. Bermohon kepada Allah jangan disandarkan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu dunia, melainkan mengikuti apa yang menjadi kehendak Allah, yakni “Jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah dianugerahkan oleh Allah kenikmatan.” Ada nilai utama yang diperoleh dalam bermunajat kepada Allah sekiranya yang dimohonkan sebagaimana yang diajarkan oleh Allah sendiri.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah Do’a Memohon Petunjuk
Allah…Allah…Allah Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui
Diri-Mu adalah Allah Penguasa manusia yang berada di muka bumi
Tak satu pun makhluk yang mengalahkan kekuatan-Mu
Makhluk mana pun pasti tunduk dan kalah dengan keperkasaan-Mu
Adakah manusia yang dapat menandingi kekuasaan-Mu?
Pasti tak mungkin ada, mustahil baginya Apakah aku dapat mengabaikan-Mu?
Padahal Engkau adalah Tuhanku Tak mungkin ya Allah aku menjauh dari diri-Mu
Andaikan aku melupakan-Mu, sudah pasti diriku merugi
Sungguh Engkau adalah satu-satunya harapanku
Di kala aku membutuhkan-Mu, aku selalu memohon kepada-Mu
Duhai Allah Yang Maha Adil dalam berketetapan
Diriku hanyalah hamba-Mu yang tak memiliki apa-apa sangat faqir, lemah tak berdaya
Sekiranya Engkau mengambil nyawaku, aku pun tak dapat menghalanginya
Aku hanya mengenal-Mu dari adanya ciptaan-Mu
Tetapi aku tetap yakin akan diri-Mu, ya Allah
Engkau sangat adil lagi bijaksana
Mana mungkin aku dapat mengenal-Mu jika tidak Engkau beri aku petunjuk?
Tak mungkin ya Allah
Allah…Allah…Allah
Kini, aku menghadap kepada-Mu dengan penuh harap akan janji-Mu
Bahwa Engkau akan menunjuki kepada jalan-Mu yang lurus
kepada siapa saja yang senantiasa patuh dan ta’at akan perintah-Mu
Tetapi, ya Allah
Diriku ini tak tahu apa pun bila tidak Engkau tunjukkan kepada jalan-Mu yang lurus
Sementara aku adalah hamba yang senantiasa memohon kepada-Mu
dengan caraku yang sangat bodoh
Diriku adalah seorang manusia biasa yang tak pandai bagaimana cara menaati-Mu
Hanya saja aku tahu bahwa Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar
Engkau adalah Tuhan Yang Mencintai hamba-Nya yang berserah diri
Duhai Allah Yang Maha Menyayangi hamba-Mu
Berilah aku petunjuk-Mu, sekalipun diriku tak berani berjanji kepada-Mu
untuk menjadi hamba-Mu yang ta’at
Justru dengan petunjuk-Mu aku dapat mengerti bagaimana aku menjadi hamba-Mu
yang selalu patuh dan tunduk kepada-Mu ya Allah
Sekiranya tidak Engkau kabulkan do’aku ini bagaimana aku akan mengikuti
perintah-Mu ya karim
Aku hanyalah hamba-Mu yang lemah, lagi tak tahu apa-apa
Adakah selain kepada-Mu aku harus bermohon?
Allah, itu mustahil bagiku
Tak pernah ada di hatiku selain menyebut nama-Mu Yang Maha Mulia
Duhai Allah kabulkanlah do’aku, amin. [ ]
Ajakan untuk “Hanya menyembah kepada Allah,” telah diikrarkan. Konsekuensinya adalah setiap jiwa atau diri atau hati atau ruh kaum mukmin harus terikat oleh ikrar (perjanjian) tersebut. Penegasan Allah merupakan Hak Mutlak Allah atas kaum mukmin dalam beribadah kepada-Nya. Ibadah, dengan demikian, tidaklah hanya teraktualisasikan di tataran dhohir, melainkan harus benar-benar tertanam di dalam hati. Maknanya adalah pengakuan keimanan seseorang tak cukup diwujudkan dalam beribadah secara dhohir (syari’ah), melainkan juga hakikat atau yang sesungguhnya dalam beribadah.
Arti ibadah secara lughowiyah (kebahasaan) adalah menunjukkan rasa pengabdian seorang yang telah mengaku beriman kepada Allah sebagai seorang hamba di dalam kedudukan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta. Pengabdian (Penghambaan) seorang hamba seharusnya diwujudkan dengan memuliakan Allah setulus hati tanpa keterpaksaan dan dilakukannya dengan cara merendahkan diri dan rasa takut.
“Menghamba,” dengan begitu, berarti merendahkan diri, bukan menyombongkan diri di hadapan kemahabesaran-Nya. Allah Swt telah memuliakan Malaikat-Nya karena penghambaan (ibadah) kepada Allah tidak dilakukan dengan menyombongkan diri dan tidak pernah merasa letih.
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih” (QS. Al-Anbiyaa’: 19).
Patutkah umat Rasulullah Saw harus menyombongkan diri dalam beribadah? Jawabnya tentu tidak! Akan tetapi, dalam prakteknya, masih banyak yang merasa bangga diri dalam beribadah kepada Allah. Apa indikasinya? Wujud seorang telah menyatakan diri sebagai mukmin adalah tidak adanya keraguan sedikit pun atas apa yang difirmankan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Prakteknya justru banyak muncul keragu-raguan atas ayat Allah ketika Allah berkehendak atas diri kaum mukmin untuk tidak pernah melupakan Allah di dalam hatinya.
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raaf: 205).
“Melupakan” Allah berarti meniadakan Dia Yang Maha Goib. Kita sering mengabaikan apa yang menjadi kehendak-Nya karena menganggap Allah tak dapat dicapai oleh penglihatan (dhohir). Sedangkan Allah Swt sangat menghargai seorang hamba karena dalam beribadah dilandaskan dengan ketulusan hatinya sekali pun Allah tidak dilihat oleh mata dhohirnya.
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada adzab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan shalat. Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu)” (QS. Faathir: 18).
Bermunajat kepada Allah adalah salah satu wujud ketidakberdayaan kita terhadap apa yang tidak dapat kita penuhi. Maka, bagi kaum mukmin, Allah lah yang menjadi sandaran-Nya. Akankah kaum mukmin telah benar-benar memahami apa yang dikehendaki oleh Allah terhadap ketetapan-Nya bahwa Allah “Dapat Memenuhi segala yang dibutuhkannya?” Alangkah ruginya jika Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana telah menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Pemberi lagi Maha Penyayang direspon dengan tidak setulus hati. Adakah hati kita meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa sesungguhnya Allah sangat dekat ke hati daripada urat leher hamba-Nya?
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (QS. Qaaf: 16).
Sudah sangat jelas bahwa hatilah yang dijadikan ‘media’ oleh Allah dalam mendekati seorang hamba, dan bukan ke dhohirnya (akalnya). Oleh karena itu, tidaklah cukup kita hanya mengucapkan “Allah” di lisan, tetapi di hatinya tiada. Adakah di dalam solat, sebagai salah satu wujud utama dalam beribadah kepada Allah, kita mengagungkan Allah di lisan, sedangkan hatinya tidak diikutsertakan memaklumi bahwa memang demikian lah Allah itu (Agung)?
Adakah di dalam beribadah seorang mukmin memohon kepada Allah pertolongan dengan setulus hati? Allah Yang Maha Bijaksana telah mengajarkan untuk segenap kaum mukmin agar mengikuti apa yang telah difirmankan-Nya, bahwa “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” Karena sesungguhnya manusia pada mulanya tidak mengetahui apa-apa terhadap apa yang dikehendaki Allah, maka turunnya ayat ini menjelaskan agar “Tidak menyembah kepada selain Allah, juga sangat dilarang memohon pertolongan kepada selain-Nya.”
Pengajaran Allah melalui firman-Nya tersebut diarahkan agar kaum mukmin tidak boleh melupakan diri-Nya yang telah mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Karena itu, pengajaran untuk hanya menyembah kepada Allah tidak boleh dipersandingkan dengan memohon pertolongan kepada selain-Nya. Adakah kaum mukmin tidak memahami bagaimana Allah mengajarkan hal demikian?
Baca: Pengajaran Al-Quran
Saya meyakini tidak seluruh kaum mukmin memahaminya. Andaikan semuanya paham, maka seharusnya menjalani apa yang dipahaminya. Jika tidak, maka sesungguhnya tidak menyadarinya. Atau, jika tidak menyadari, maka kebanyakan kaum mukmin melalaikannya. Sekali saja kaum mukmin melupakan-Nya, maka mereka akan melupakan apa yang telah dipahaminya. Pemahamannya tetap ada, tetapi pengamalannya yang tidak ada.
Sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, maka Allah berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan-Nya. Bagaimanakah cara orang menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah adalah bagaimana pula orang meresponnya dengan tingkat keyakinannya. Maka, tak heran jika antara satu orang atau satu kelompok berbeda tingkat keyakinannya dengan satu orang atau satu kelompok lainnya, berbeda pula dalam mengamalkannya.
Do’a Memohon Petunjuk
Ketidakberdayaan kita atas pemenuhan keinginan tidak seharusnya dijalankan seolah-olah mampu dengan sendirinya, melainkan sepatutnya memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Keinginan manusia, ternyata, berbeda dengan kehendak Allah. Keinginan diri (nafs) cenderung mengajak kepada kejahatan kecuali nafs (nafsu) atau diri yang dirahmati oleh Allah.
Maka, apabila keinginan diri didahulukan, jelas tidak akan berkuasa mendatangkan rahmat atau kemanfaatan bagi diri itu sendiri. Berbeda jika mendahulukan kehendak-Nya.
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman" (QS. Al-A’raaf: 188).
Hanya dengan kehendak Allah lah rahmat atau kemanfaatan dapat diraih. Adakah setiap diri dapat memperoleh kemanfaatan jika dilandaskan atas keinginannya sendiri? Alangkah tidak bijaksananya jika pernyataan Allah harus dihadapkan dengan ketidakmampuan akal manusia yang tidak dapat menjangkau hal-hal goib. Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Megetahui telah menjelaskan bahwa Allah lah yang menjadikan diri mampu menjauhkan dari kejahatan karena rahmat-Nya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf: 53).
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Adakah kita tidak patut bersyukur atas rahmat Allah? Alangkah sombongnya kita bila tidak pandai berterima kasih jika apa yang selama ini dianugerahkan oleh Allah kepada kita segala kenikmatan. Ayat-ayat Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana telah diturunkan untuk menjelaskan hal-hal yang akal tak mampu mengetahuinya dengan sebuah kepastian, melainkan dugaan semata-mata. Kepastian akan segala yang difirmankan-Nya menjadikan manusia beroleh keberuntungan. Setiap perkataan-Nya senantiasa mengandung Al-Hikmah dan keberkahan. Maka, mengikuti firman Allah berarti telah mengikuti petunjuk-Nya.
Akan tetapi, petunjuk Allah di dalam kitab-Nya ternyata membutuhkan petunjuk lagi yang didatangkan Allah ke dalam diri atau jiwa atau hati atau ruh kita. Mengapa? Ayat-ayat Allah begitu sulit untuk dijangkau hanya dengan menyandarkan kepada keterbatasan akal. Karena itu, sangat bijaksana apabila ayat-ayat Allah yang telah dengan jelas (muhkamat) menerangkan kepada kaum mukmin diikuti. Misalnya, kelanjutan ayat memohon pertolongan hanya kepada Allah yang sudah disebut di atas (QS. Al-Fatihah: 5), Allah Swt berfirman:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6).
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS. Al-Fatihah: 7).
Baca: Aplikasi Petunjuk Allah
Ayat ini sangat mengait dengan ayat sebelumnya, bahwa bermohonlah pertolongan kepada Allah agar ditunjuki ke jalan yang lurus, bukan jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat. Bermohon kepada Allah jangan disandarkan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu dunia, melainkan mengikuti apa yang menjadi kehendak Allah, yakni “Jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah dianugerahkan oleh Allah kenikmatan.” Ada nilai utama yang diperoleh dalam bermunajat kepada Allah sekiranya yang dimohonkan sebagaimana yang diajarkan oleh Allah sendiri.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah Do’a Memohon Petunjuk
Allah…Allah…Allah Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui
Diri-Mu adalah Allah Penguasa manusia yang berada di muka bumi
Tak satu pun makhluk yang mengalahkan kekuatan-Mu
Makhluk mana pun pasti tunduk dan kalah dengan keperkasaan-Mu
Adakah manusia yang dapat menandingi kekuasaan-Mu?
Pasti tak mungkin ada, mustahil baginya Apakah aku dapat mengabaikan-Mu?
Padahal Engkau adalah Tuhanku Tak mungkin ya Allah aku menjauh dari diri-Mu
Andaikan aku melupakan-Mu, sudah pasti diriku merugi
Sungguh Engkau adalah satu-satunya harapanku
Di kala aku membutuhkan-Mu, aku selalu memohon kepada-Mu
Duhai Allah Yang Maha Adil dalam berketetapan
Diriku hanyalah hamba-Mu yang tak memiliki apa-apa sangat faqir, lemah tak berdaya
Sekiranya Engkau mengambil nyawaku, aku pun tak dapat menghalanginya
Aku hanya mengenal-Mu dari adanya ciptaan-Mu
Tetapi aku tetap yakin akan diri-Mu, ya Allah
Engkau sangat adil lagi bijaksana
Mana mungkin aku dapat mengenal-Mu jika tidak Engkau beri aku petunjuk?
Tak mungkin ya Allah
Allah…Allah…Allah
Kini, aku menghadap kepada-Mu dengan penuh harap akan janji-Mu
Bahwa Engkau akan menunjuki kepada jalan-Mu yang lurus
kepada siapa saja yang senantiasa patuh dan ta’at akan perintah-Mu
Tetapi, ya Allah
Diriku ini tak tahu apa pun bila tidak Engkau tunjukkan kepada jalan-Mu yang lurus
Sementara aku adalah hamba yang senantiasa memohon kepada-Mu
dengan caraku yang sangat bodoh
Diriku adalah seorang manusia biasa yang tak pandai bagaimana cara menaati-Mu
Hanya saja aku tahu bahwa Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar
Engkau adalah Tuhan Yang Mencintai hamba-Nya yang berserah diri
Duhai Allah Yang Maha Menyayangi hamba-Mu
Berilah aku petunjuk-Mu, sekalipun diriku tak berani berjanji kepada-Mu
untuk menjadi hamba-Mu yang ta’at
Justru dengan petunjuk-Mu aku dapat mengerti bagaimana aku menjadi hamba-Mu
yang selalu patuh dan tunduk kepada-Mu ya Allah
Sekiranya tidak Engkau kabulkan do’aku ini bagaimana aku akan mengikuti
perintah-Mu ya karim
Aku hanyalah hamba-Mu yang lemah, lagi tak tahu apa-apa
Adakah selain kepada-Mu aku harus bermohon?
Allah, itu mustahil bagiku
Tak pernah ada di hatiku selain menyebut nama-Mu Yang Maha Mulia
Duhai Allah kabulkanlah do’aku, amin. [ ]
3 komentar
My brother recommended I may like this blog. He was totally right.
This publish actually made my day. You cann't imagine
simply how a lot time I had spent for this info!
Thanks!
All of this happens at the will of God.
Alhamdulillah, if you have found this page, it will increase your enthusiasm to pray to God to be shown to the right path.
You're welcome
Sama-sama
EmoticonEmoticon