-->

Translate This Blog

13.6.11

Damai Hidup Tak Pernah Rugi

Damai Hidup Tak Pernah Rugi



Adakah di antara manusia yang mengharap hidup dipenuhi dengan kerugian? Tak ada seorang pun, dan itu sudah pasti. Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta juga sangat menghendaki agar manusia hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt memperlihatkan do’a seseorang yang telah menyelesaikan ibadah haji. Do’a ini sangat dikenal di Indonesia dengan do’a sapu jagad

ومنهم من يقول ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (Q.S. Al-Baqarah : 201).

Kebaikan di dunia, juga di akhirat, adalah suatu kehendak Allah Swt. Maknanya adalah bahwa sesungguhnya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tidak berkehendak bagi manusia hidupnya tidak menjadi baik di dunia, sedangkan di akhirat mendapat siksa.

Secara fitrah, kehidupan manusia di dunia telah ‘direncanakan’ oleh Allah Azza wa Jalla agar mengikuti ‘Pedoman Hidup Yang Maha Kuasa’ untuk menjalaninya dengan penuh damai. Mustahil bagi Allah Swt, sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, membiarkan manusia makhluk ciptaan-Nya terombang ambing di dalam kesesatan.

Karena itu, sebagai bukti bahwa Dia (Allah) tidak membiarkan manusia terseok-seok dalam mengikuti perjalanan hidup di alam dunia, yang akan berpengaruh terhadap keadaan hidup di akhirat, diutuslah seorang Rasul-Nya Saaw. Beliau terlahir dengan ketetapan-Nya sebagai Rasul yang menyempurnakan Kitab-Kitab yang telah dibacakan oleh Rasul-Rasul sebelumnya (Daud, Musa dan ‘Isa).

Kehadiran beliau menjadi bukti atas perhatian Allah Azza wa Jalla untuk membimbing manusia dari ‘kegelapan’ hidup di dunia. Dengan Al-Qur’an sebagai Kitab yang diwahyukan kepadanya, maka Allah Swt berkehendak agar segenap umat manusia mengetahui apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah! Inilah bukti kebenaran yang wajib diikuti oleh segenap umat manusia.

Pada kenyataannya, ternyata tidak sedikit jumlahnya (banyak) manusia yang tidak mengimaninya. Bagi Allah, kekufuran mereka tidak menjadikan-Nya merasa dihinakan oleh manusia. Tidak sama sekali. Allah sebagai Tuhan Yang Maha Berkuasa memiliki mizan (pertimbangan) tersendiri, sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya, untuk memperlakukan mereka di dunia dan di akhirat. Pada Hari Kebangkitan tiba, mereka akan mendapat balasan dari Allah Swt:

ولو ترى إذ وقفوا على ربهم قال أليس هذا بالحق قالوا بلى وربنا قال فذوقوا العذاب بما كنتم تكفرون

“Dan seandainya kamu melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentulah kamu melihat peristiwa yang mengharukan). Berfirman Allah: "Bukankah (kebangkitan) ini benar?" Mereka menjawab: "Sungguh benar, demi Tuhan kami". Berfirman Allah: "Karena itu rasakanlah adzab ini, disebabkan kamu mengingkari (nya)" (Q.S. Al-An’am : 30).

Allah Swt sesungguhnya sangat Mengasihi dan Menyayangi makhluk-Nya, baik jin maupun manusia. Akan tetapi, mereka terlalu angkuh dan sombong terhadap ajakan Allah agar menjadi hamba-Nya yang dikasihi juga disayangi. Berbagai alasan dikemukakan sebagai bantahan atas ketidaktundukan dan ketidakpatuhan terhadap perintah dan larangan Allah.

Allah Swt telah menjelaskan kepada seluruh umat manusia di dalam kitab-Nya agar mengikuti ‘Pedoman Hidup’, yang dengan begitu manusia akan meraih kehidupan yang penuh dengan kedamaian! Hidup bahagia pasti sangat didambakan oleh semua manusia. Hidup bahagia merupakan tolok ukur ketenteraman jiwa manusia sebagai makhluk yang diliputi oleh rongrongan nafsu syaithaniah. Musykil terjadi pada diri manusia akan lahirnya kedamaian sekiranya jiwanya sangat padat dengan hasutan iblis untuk berbuat kejahatan.

Kejahatan tetap tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang diridoi oleh Allah. Kejahatan adalah salah satu perwujudan watak iblis di dalam jiwa manusia. Mengelabui diri untuk berbuat jahat sesungguhnya merupakan perlawanan terhadap Allah Azza wa Jalla. Karena itu, Allah sangat membenci orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya. Sebaliknya, jiwa yang tenang (mutmainnah) adalah keadaan jiwa yang senantiasa mendapati rahmat Allah sepanjang hidupnya. Dan, pasti berbeda manusia yang jiwanya tenteram dengan jiwa yang terlalu dilingkup oleh banyak keinginan nafsu syaithaniah. Dengan kata lain, hidup damai adalah hidup yang jiwanya tenteram tanpa terlalu dihimpit oleh banyak keinginan duniawi yang dapat menjerat ‘leher keserakahan’.

Tetapi, hampir seluruh manusia berpandangan bahwa sepertinya tidak menjadi masalah ketika manusia ‘berkeinginan’ sebagai makhluk Allah yang diberi kesempatan untuk hidup di dunia. Allah Swt telah menyediakan berbagai kebutuhan makhluk-Nya di alam dunia. Semuanya sudah dipersiapkan. Allah Yang Maha Pencipta tentu saja menunjukkan kesungguhannya ketika Dia berkehendak menjadikan manusia menjadi pemakmur bumi. Bahkan, manusia telah dijadikan sebagai khalifahnya. Malaikat sendiri keheranan, “Duhai Allah, mengapa Engkau jadikan mereka sebagai khalifah, padahal kami yang senantiasa bertasbih kepada-Mu sedangkan manusia adalah makhluk yang sangat suka saling menumpahkan darah (membunuh)?” Al-Qur’an telah menegaskan jawaban Allah atas keheranan para malaikat. Allah Swt telah berfirman dengan bahasa yang sangat diplomatis atas kehendak-Nya sendiri:

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون

"Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (Q.S. Al-Baqarah : 30).

Bagi sebahagian manusia yang tidak diangkat dalam kedudukan yang disayangi oleh Allah Azza wa Jalla, mereka sangat bangga dengan ayat ini. Mereka menjadikan sandaran ayat Allah ini, terkait dengan kedudukan manusia di muka bumi, seolah bahwa hanya dengan begitulah sesungguhnya Allah menjadikan manusia ‘bebas’ bersikap, berpikir dan berbuat sesuai dengan keinginannya! Seolah bahwa manusia dengan sebebas-bebasnya dapat memenuhi keinginannya tanpa ragu.

Namun demikian, Allah Swt sesungguhnya sama sekali tidak berfirman hanya dengan satu ayat saja, melainkan banyak ayat. Dia (Allah) menyatakan ‘demikian’ pada satu ayat, juga menyatakan ‘demikian’ pada ayat yang lain. Juga berkata ‘begini’ pada satu ayat, tetapi mengatakan ‘begitu’ pada ayat yang lainnya! Adakah yang menyadari hal demikian? Saya percaya bila banyak yang mengetahui, namun tidak banyak yang sungguh-sungguh memperhatikannya.

Allah Azza wa Jalla juga telah menjadikan manusia mulia sebagai makhluk-Nya daripada kebanyakan makhluk yang telah Dia ciptakan. Allah Swt berfirman:

ولقد كرمنا بني آدم وحملناهم في البر والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al-Israa’ : 70).

Sebagaimana ayat sebelumnya, ayat ini juga telah mendudukkan manusia (anak cucu Adam a.s.) sebagai makhluk yang diberi kelebihan dari kebanyakan makhluk lainnya. Adalah karena Allah telah menciptakan bersamanya (jasad manusia) dengan kemampuan berpikir (otak)! Inilah kelebihannya, dan dengan akalnya manusia menjadi mulia.

Bagaimanakah Allah Swt menyebut mulia untuk manusia? Al-Qur’an telah menyebutkan, dan banyak manusia yang juga mengetahuinya, bahwa karena ketakwaannya manusia menjadi mulia di sisi Tuhannya. Akal diciptakan sebagai bagian yang disertakan karena adanya otak. Dengan otaknya, manusia dapat berpikir (berakal). Melalui akalnya, yang bersama jasadnya di alam dunia, Allah Azza wa Jalla berkehendak agar manusia berakal memikirkan (merenungkan) kemahabesaran Allah atas seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Terkait dengan kemuliaan manusia di sisi Allah Swt, Al-Qur’an menyatakan demikian:

يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S. Al-Hujurat : 13).

Sedangkan firman Allah Swt untuk manusia (yang telah diberi akal) agar merenungkan ciptaan-Nya, Al-Qur’an telah menegaskan:

إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Q.S. Ali Imron : 190 – 191).

Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Mengetahui ternyata tidak begitu saja mendudukkan manusia sebagai khalifah selain Dia melengkapinya dengan akalnya supaya mau berpikir tentang ciptaan-Nya! Dari sini, maka manusia akan benar-benar menjadi khalifah setelah dia di sisi Allah sebagai hamba-Nya yang sangat mulia karena senantiasa mencintai Allah, dengan secara istiqamah berdzikir kepada-Nya dan berdo’a, sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring!

Saya menganalisa demikian didasarkan kepada keyakinan, bahwa mustahil ayat-ayat Allah antara yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengait. Karena itu, sepatutnya kita tidak terburu-buru untuk menyimpulkan mengenai kedudukan manusia yang telah dilebihkan oleh Allah daripada kebanyakan makhluk ciptaan-Nya. Dari ayat-ayat-Nya, bahwa kemuliaan manusia justru tidak semata-mata karena akalnya, melainkan Allah Azza wa Jalla menciptakannya agar manusia berpikir bagaimana Dia menyatakan demikian atas dirinya (manusia). Sebaliknya, manusia yang mulia itu disebabkan karena akalnya dapat memikirkan apa yang telah diperingatkan oleh Allah, bahwa yang disebut manusia berakal (Ulil Albab) adalah orang-orang yang senantiasa merindukan Allah dalam keadaan apapun di setiap waktu, apakah ketika duduk atau berdiri atau berbaring, dan terus menerus memikirkan (merenung untuk mengambil hikmah atas setiap penciptaan makhluk-Nya) serta senantiasa berdo’a kepada Allah agar dibukakan hatinya sehingga memperoleh pemahaman atas kehendak-Nya mengenai rahasia penciptaan seluruh makhluk-Nya supaya dirinya benar-benar dimasukkan sebagai manusia yang diselamatkan oleh Allah dari siksa api neraka.


Berserah Diri

Saya berkeyakinan bahwa Ulil Albab adalah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah sehingga dia mendapatkan Al-Hikmah (kebijaksanaan Allah). Dengan Al-Hikmah, dia akan mengetahui kehendak Allah di atas keinginannya sendiri. Inilah yang disebut dengan berserah diri.

Orang-orang yang berserah diri tidak pernah mendahulukan keinginannya melampaui kehendak Allah! Apapun yang menjadi kehendak-Nya, dia akan mendahulukannya. Ini adalah ciri orang yang sudah bertakwa dengan sebenar-benar bertakwa kepada Allah Swt sebelum mati (wafat). Dan, inilah yang dikenal dengan Muslim Sejati! Allah Swt telah berfirman dalam hal ini ketika memerintahkan kaum mukmin agar bertakwa dengan sebenar-benar bertawa kepada-Nya.

يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (berserah diri)” (Q.S. Ali Imron : 102).

Allah Swt telah memerintahkan kepada kaum mukmin hal demikian bukan tanpa tujuan. Hanya saja, kebanyakan kaum mukmin cenderung tidak bergegas untuk segera mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Keimanannya tidak beranjak ke derajat muttaqin. Dalam keadaan demikian, hatinya belum tenteram karena akalnya hanya memikirkan dirinya sendiri (atas segala keinginan yang sangat materialis), belum berserah diri atas apa yang telah dikehendaki oleh Allah supaya menjadi Ulil Albab, yang hidupnya damai tanpa beban akibat kesemrawutan berpikir.

Dengan kata lain, orang-orang yang berserah diri adalah orang-orang yang telah ‘menempatkan’ Allah di hatinya sepanjang hidupnya dengan diikuti oleh akalnya untuk memikirkan kemahabesaran Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Berkuasa atas dirinya.

Penyerahan diri semacam itu tidak akan merugikan kaum mukmin, melainkan akan diangkat derajatnya menjadi mulia di sisi Allah dan berhak atas dirinya sebagai hamba-Nya. Hidupnya pun damai tanpa kegalauan, ambigu, resah, kebingungan dan lain-lain penyakit hati.


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post

3 komentar

avatar

Salam, Pak Ahmad

Saya tertarik dengan ungkapan:-
"Hanya saja, kebanyakan kaum mukmin cenderung tidak bergegas untuk segera mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah!"

Saya yang jahil ini bertanya Bapak, bila difikirkan dan dikaji sebenarnya apakah yang Allah hendak kita utamakan di dunia ini?

Yang membuat saya terfikir dan saya merenung fakta-fakta dibawah:-
Semuanya ciptaan Allah ini adalah untuk makhlukNya;
Manusia sebagai makhluk yang diberi kelebihan dari kebanyakan makhluk lainnya;
Manusia dilantik sebagai Khalifah di dunia;
Manusia diberikan akal untuk memikirkan kebesarannya;
Manusia akan kembali kepadaNya dan disoalkan kelak apa yang telah dilakukan didunia ini.

Jadi bila saya cuba kaitkan dengan ungkapan bahawa kebanyakan kaum mukmin cenderung tidak bergegas untuk segera mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah!Persoalannya adakah yang dimasukkan dengan bergegas menunaikan solat atau membuat kebajikan sesama mahklukNya terlebih dahulu dengan tenang dengan penuh rasa kasih sayang keranaNya.

Persoalan ini timbul kerana ramai dikalangan kita yang bersemangat bersolat dengan tergesa-gesa sehinggakan meninggalkan kebajikan lain mengakibatkan berlakunya perasaan tidak puas hati dikalangan tetamu umpamanya. Selain itu adakah solat kita benar-benar tenang tidak memikirkan kerja-kerja kita yang belum selesai. Tidakah solat yang lalai itu dimurkai oleh Allah. Tidakkah dengan rasa gembira keakuan kita yang mengakui kita yang telah bersolat di awal waktu menimbulkan riak kita kepada Allah yang memberi daya dan upaya kepada kita untuk solat.

Bagaimana pula perhubungan kita dengan manusia lain kita itu tidakkah terasa gelisah pada tetamu kita yang hadir untuk urusan kerja atau sebagainya di pejabat.

Saya berfikir sedemikian kerana saya terasa bahawa apa yang Allah cipta didunia ini adalah dengan kasih sayangNya. Allah adalah yang maha kasih dan sayang kepada semua mahklukNya. Allah jadikan kita khalifah yang berakal adalah untuk berkasih sayang dengan dengan mahklukNya. Allah mahu manusia mengenali Dia yang maha Pengasih dan Penyayang dengan erti kata lain sebagai khalifah dahulukan kasih sayang sebagaimana Rahmat Allah mengatasi murkaNya. Setiap yang terjadi yang ditakdirkan bukannya sia-sia tetapi saya berkeyakinan bahawa yang maha Pengasih dan Penyayang meminta kita berfikir dengan rasa kasih sayang kepadaNya dan kepada makhlukNya sehingga ada yang meriwayatkan yang lebih kurang maksudnya bahawa lawatilah mereka yang sakit kerana Allah sangat dekat dengan mereka yang sakit.

Saya yakin satu-satu kebajikan yang dinilai oleh Allah adalah berdasarkan niat dan niat kerana Allah yang maha pemurah dan pengasih adalah kunci untuk memberi kesan kepada manusia untuk melakukan sesuatu kebajikan dengan penuh rasa kasih sayang sehingga lupa kepada balasan dan tidak ini dikatakan satu ikhlasan.

Jadi bapak maafkan saya dengan coretan ini kerana rasa hati yang hadir ketika ini memerintahkan saya meluahkannya. maafkan saya bapak ya kerana keterlanjuran saya ini.

Minta bapak perjelaskan, adakah rasa hati saya ini telah tersasar. Untuk makluman bapak saya solat lima waktu mengikut ketenangan hati bila terdetik perintah di hati.

Daripada Ahmad yang jahil.

avatar

Wa 'alaikum salam Saudaraku!

Perhatian atas apa yang telah saya tulis, tentu saja, adalah suatu masukan (input) yang sangat berharga! Saya sebatas mencoba mengungkap dari ayat-ayat Allah yang sudah pasti kebenarannya!

Sebagaimana penjelasan pada tulisan ini, saya menyebutkan bahwa hidup damai akan dapat hadir pada diri seseorang sekiranya dia telah benar-benar berserah diri kepada Allah! Dan ini akan dapat terjadi apabila yang bersangkutan mencintai Allah, bukan mencintai diri sendiri! Akan tetapi, kebanyakan manusia selalu saja mencintai dirinya sendiri.

Pemahamannya adalah sekiranya seseorang baru sebatas melaksanakan untuk memenuhi kewajiban semata-mata, maka dia masih belum memahami apa yang sesungguhnya dari yang dilaksanakannya itu!
Apabila dia telah melaksanakan solat, maka orang yang seperti itu hanya sebatas menanggalkan kewajiban semata! Perintah Allah sudah dilaksanakan, seolah sudah selesai segala hal yang menjadi kewajibannya di hadapan Allah!

Padahal, selain perintah solat, juga disertai untuk menghindar dari yang dilarang-Nya! Apa itu? "Sesungguhnya solat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar!" Saya sependapat dengan anda, bahwa hablum minan naas adalah suatu perintah Allah yang tidak boleh ditinggalkan! Berbuat baik kepada ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, tetangga dekat maupun jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba-hamba sahaya merupakan perintah Allah yang tersebut di dalam Al-Qur'an (lihat Q.S. An-Nisa : 36)!

Kualitas hubungan kita dengan Allah akan berdampak positif dalam melakukan hubungan dengan antar sesama manusia! Sulit sekali dapat dijumpai pada diri seseorang yang solatnya asal solat dalam menjalin hubungan dengan sesamanya sangat berkualitas (baik)! Adakah dia berbuat baik seperti yang tampak dilihat atau didengar dari pembicaraannya persis sebagaimana hatinya?

Saya, misalnya, seorang ahli ibadah, akan tetapi saya juga suka mencaci maki saudara sendiri atau teman, adakah ibadah yang telah saya lakukan sudah dianggap sebagaimana yang dikehendaki Allah? Masih sangat jauh! Solat saya, puasa saya dan ibadah-ibadah yang lainnya sama sekali tidak berdampak positif!

Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta Mengasihi dan Menyayangi kepada makhluk-Nya adalah mutlak benar! Dengan kasih sayang itulah Allah mengajarkan kepada manusia, yang disampaikan di dalam Al-Qur'an, untuk menjadi manusia yang beriman dan beramal soleh (takwa)!

Allah Swt hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi sekiranya dia dapat mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya! Untuk itu, Allah Swt memberi kelebihan kepada umat manusia daripada kebanyakan makhluk yang telah Dia ciptakan, yaitu diberi akal agar dapat berpikir!

Dalam hal ini, yang disebut orang-orang berakal (Ulil Albab) adalah orang-orang yang tidak mendahulukan dirinya sendiri, melainkan "orang-orang yang senantiasa merindukan Allah dalam keadaan apapun di setiap waktu, apakah ketika duduk atau berdiri atau berbaring, dan terus menerus memikirkan (merenung untuk mengambil hikmah atas setiap penciptaan makhluk-Nya) serta senantiasa berdo’a kepada Allah agar dibukakan hatinya sehingga memperoleh pemahaman atas kehendak-Nya mengenai rahasia penciptaan seluruh makhluk-Nya supaya dirinya benar-benar dimasukkan sebagai manusia yang diselamatkan oleh Allah dari siksa api neraka!" (silakan simak ayat 190-191 surat Ali Imron sebagaimana sudah saya tukil pada tulisan ini).

Hanya dengan cara itu hatinya akan menjadi tenang, dan Allah akan mengajarkan pengetahuan yang mendalam (Al-Hikmah) yang dipancarkan ke dalam jiwanya. Dengan Al-Hikmah (lihat Q.S. Al-Baqarah : 269), dia akan mengetahui apa yang menjadi kehendak Allah atas dirinya, bukan sebaliknya, yaitu mendahulukan keinginannya atas kehendak Allah! (bersambung)

avatar

(sambungan)

Apapun yang diperintahkan Allah dan apapun yang dilarang-Nya, melalui Al-Hikmah kita akan ditunjuki bagaimana seharusnya, bukan sekedarnya dalam hal apapun, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia!

Saya ingin menyudahi penjelasan saya dengan gambaran sebagai berikut:

Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Pencipta! Atas diri-Nya, Dia Menghendaki kepada umat manusia agar menyembah (beribadah) hanya kepada-Nya! Agar manusia mengerti kehendak-Nya, Allah Swt menurunkan wahyu kepada Rasul-Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril a.s. untuk disampaikan (dibacakan) kepada umat manusia!

Allah Swt mengakhiri penurunan wahyu sampai kepada Junjungan Nabi yang mulia Muhammad Saaw! Al-Qur'an akhirnya diridoi oleh Allah menjadi Kitab Pedoman bagi seluruh umat manusia! Sebelum dibacakan ayat-ayat Allah oleh beliau, manusia belum sepenuhnya memahami apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah! Maka, sejak kehadiran beliau menjadi Rasul-Nya, semua umat manusia agar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan pedoman yang ada di dalam Al-Qur'an dan sabda Nabi-Nya Saaw!

Allah Swt mengajak orang-orang yang mengimani-Nya agar menjadi bertakwa! Hanya dengan bertakwa manusia akan memperoleh keberuntungan! Allah Swt akan mengajarkan dan menunjuki jalan orang-orang yang telah menjadi kekasih-Nya sekiranya kaum mukmin mengikuti petunjuk-Nya!

Petunjuk Allah akan dianugerahkan kepada siapa yang Dia kehendaki! Siapakah yang dikehendaki Allah sehingga memperoleh petunjuk-Nya agar dapat memahami ayat-ayat Allah yang memiliki keberkahan dan kebijaksanaan Allah?

Allah selalu mengajak seluruh umat manusia agar berpikir atau berakal! Allah menghendaki kepada orang-orang berakal (Ulil Albab) agar senantiasa mencintai-Nya dan merenungkan ciptaan-Nya! Akal yang tunduk dan patuh kepada Allah akan selalu merindukan Allah di hatinya dalam setiap keadaan (berdiri, duduk atau berbaring) di waktu pagi, petang, malam (setiap waktu) dan memikirkan ciptaan-Nya sampai dia mengagumi akan kemahabesarannya!

Sebagaimana janji-Nya, maka apabila merindukan Allah, niscaya Dia pun rindu kepada hamba-Nya (lihat Q.S. Al-Baqarah : 152)! Sebagai wujud bukti bahwa Allah juga rindu kepada hamba-Nya yang senantiasa merindu, Allah berikan anugerah Al-Hikmah! Dengan Al-Hikmah itulah para perindu memperoleh pengetahuan tentang yang dikehendaki Allah atas dirinya.

Begitulah penjelasan saya. Mudah-mudahan dapat menambah pemahaman atas apa yang diarahkan dalam tulisan ini: "Damai Hidup Tak Pernah Rugi" sekiranya kita adalah termasuk orang-orang yang senantiasa berserah diri kepada Allah dengan jalan menjadi Ulil Albab!


Salam dari jauh,


Ahmad


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner