-->

Translate This Blog

6.6.11

Makna Jalan Yang Lurus

Makna Jalan Yang Lurus

Apabila gairah hati telah bertambah kuat akan keyakinan (keberimanan) terhadap kebenaran ayat-ayat Allah, maka tahap selanjutnya adalah menemukan jalan yang lurus. Lalu, apa makna jalan yang lurus itu? Bagaimana cara menemukan jalan yang lurus itu?

Menemukan Jalan Yang Lurus


Dengan petunjuk-Nya, jalan yang lurus dapat ditemukan lewat perantaraan (wasilah). Ada banyak pemahaman tentang wasilah. Tetapi, pada intinya, kita dapat menyandarkan pemahaman tersebut dari ayat berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah perantaraan (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. Al-Ma’idah :35).

Ayat ini merupakan pijakan untuk mengetahui makna “Jalan yang lurus,” yaitu sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Fatihah ayat 7:
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” 

“Jalan yang lurus” bukanlah jalan yang tidak dapat ditemukan, selain harus diperjuangkan lewat perantaraan (jalan) untuk mendekati-Nya (Dia Yang Maha Mulia). Perjuangan atau jihad di Jalan Allah atau “Jalan yang lurus” sangat sulit penuh terjal. Maka, dengan perantaraan (wasilah) itulah Allah akan membimbingnya menuju kepada cahaya-Nya.

Siapakah yang dapat memperantarai kepada cahaya-Nya? Inilah yang dicari dan yang ‘dibicarakan’ oleh banyak kalangan. Sebagian menerima wasilah dimaknai sebagai jalan yang diikuti oleh kaum mukmin lewat karomah para wali dan syafa’at Rasulullah Saaw. Sebagian yang lain, wasilah memiliki pengertian ‘Jalan’ yang sudah ditetapkan sebagaimana adanya, yaitu lewat mempelajari syari’ah (hukum-hukum yang melandasi tata cara peribadatan kepada Allah lewat Al-Qur’an dan hadits Nabi Saaw). 

Maka, adanya perbedaan semacam ini melahirkan keyakinan yang tidak sama! Menurut hemat saya, wasilah dapat dimaknai dengan keduanya, baik lewat karomah atau syafa’at, juga lewat belajar syari’ah. Secara syar’i, setiap mukmin wajib mempedomani Al-Qur’an dan As-Sunah. Mempelajarinya membukakan jalan pemikiran untuk mengetahui dasar-dasar yang seharusnya diikuti oleh segenap kaum mukmin dalam menjalankan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya Saaw.

Tanpa pengetahuan syari’ah, kaum mukmin tidak mungkin mengetahui bagaimana perintah dan larangan Allah. Hanya dengan menyandarkan kepada Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saaw (baik melalui jalur para sahabat maupun ahlul bait), kaum mukmin dengan mudah dapat menjalankan segala bentuk peribadatan kepada Allah.

Ini alasan berwasilah melalui belajar syari’ah. Lalu, bagaimana wasilah melalui karomah atau syafa’at Rasulullah Saaw? Sebenarnya wasilah yang dilakukan melalui karomah para wali Allah disandarkan kepada tingkat keyakinan atas ayat-ayat Allah yang dengan tegas menyebutkan kedudukan (maqam) orang-orang bertakwa yang sangat mulia di sisi Allah Azza wa Jalla. Dengan maqam itulah yang dapat dijadikan sebagai pegangan bahwa mereka (para wali Allah) adalah orang-orang yang telah diberikan ‘hak-hak istimewa’ sebagai penghubung antara diri (nya) dengan Dia (Nya). 

Saya akan menggambarkan bagaimana wasilah itu dalam kehidupan di alam dunia saat ini. Seorang profesor adalah seseorang yang telah didudukkan sebagai orang yang memiliki kapabilitas keilmuan di bidangnya! Maka, ketika ada orang yang bertanya tentang sesuatu hal terkait dengan keilmuannya itu, dia (profesor) akan dapat menjelaskan secara detil dan argumentatif. Kapabilitas keilmuannya itulah yang menyebabkan dia dapat dijadikan sebagai perantaraan untuk mengetahui hal-hal yang belum dijangkau oleh orang lain selain dia.

Sekarang, dengan perumpamaan seperti itu, kedudukan seorang wali Allah yang ditetapkan oleh Dia Yang Maha Mulia menempati dirinya sebagai kekasih Allah! Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Mulia akan membuka rahasia-Nya kepada para wali-Nya terkait dengan segala kebijaksanaan-Nya karena kekasih-Nya telah dimuliakan oleh Dia Yang Maha Bijaksana. 

Allah Swt telah berfirman di dalam surat Al-Hujurat ayat 13 menjelaskan kedudukan orang-orang yang bertakwa di sisi Allah.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Orang-orang yang telah diberi kemuliaan (karomah) pasti dia telah ditetapkan oleh Allah Swt sebagai orang yang bertakwa. Karomah yang ditujukan kepada seorang wali sesungguhnya merupakan Hak Allah atas diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Bijaksana. Itulah sebabnya seorang wali Allah adalah seorang yang sudah bertakwa dengan sebenar-benar bertakwa yang menyebabkan dia dianugerahi karomah (keutamaan-keutamaan) oleh Allah. Sekalipun demikian, tidak semua orang yang sudah bertakwa (ma’rifat) adalah wali-Nya.

Luasnya ilmu Allah berada di dalam kekuasaan-Nya! Karena itu, kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu yang didasarkan atas keluasan ilmu-Nya. Maka, bagi wali Allah yang didudukkan di sisi-Nya karena ketakwaannya, mereka ditempatkan di dalam kekuasaan-Nya yang karena kemuliaan-Nya dianugerahi ilmu yang bersumber dari Dia Yang Maha Mengetahui.

Dalam kapasitas sebagai seorang kekasih Allah, maka wali Allah dapat menengahi (mediasi) setiap kaum mukmin yang berharap memperoleh pengetahuan “Jalan yang lurus”. Adakah bahwa wali-wali Allah dapat dijumpai saat ini dalam kehidupan realitas? Atau, adakah wali Allah yang sudah wafat dapat dijadikan sebagai wasilah dalam menjemput pengetahuan dari Allah Yang Maha Mengetahui terkait dengan “Jalan yang lurus”? 

Sangat boleh jadi kaum mukmin akan belajar langsung bila ada seorang wali Allah yang masih hidup dan berharap dapat memperantarainya agar Allah menunjuki ke Jalan-Nya. Hanya saja, mustahil kaum mukmin dapat dengan mudah mengenal seorang wali Allah di era informasi sekarang ini. Sekiranya belum dianugerahi Al-Hikmah, juga diizinkan oleh Allah, sulit bagi kaum mukmin mengetahui wali-Nya. 

Perbuatan seorang wali Allah tidak pernah melebar dari yang ditunjuki oleh Allah Yang Maha Mulia. Pilihan Allah pasti mengikuti apa yang ditunjuki oleh Allah Azza wa Jalla. Dalam kedudukan sebagai seorang kekasih Allah, wali Allah akan sulit menjalankan ‘misi-Nya’ menurut keinginannya sendiri. Baginya tidak ada yang lebih tahu selain Allah. Maka, dia tidak berani untuk mendahului kehendak Allah.

Sekalipun begitu, hingga saat ini, kaum mukmin masih belum dapat mengenali wali-Nya! Sikap skeptis dalam dirinya sangat kuat. Maka, perlakuan terhadap seorang wali, walaupun ada pada kenyataannya dari zaman ke zaman, dianggap hanya sebatas orang yang memiliki kelebihan semata. Tak ada bedanya dengan orang lain yang diberi kelebihan. Sayang sekali bila masih ada kaum mukmin yang diliputi oleh rasa keragu-raguan. 

Oleh karena itu, bagi kaum mukmin yang berada dalam rasa ragu atas kemahabesaran Allah di setiap zaman adanya wali Allah, mereka hanya berkeyakinan bahwa seorang wali Allah hanya ada sebagaimana yang diketahuinya dalam buku sejarah Islam (tempo doeloe)! Sekalipun demikian, mereka berkeyakinan bahwa walaupun telah wafat, karomah seorang wali tetap berlaku hingga saat ini. 

Landasan ayat-ayat Allah yang dirujuk dalam menyikapi ‘kehidupan’ seorang wali Allah di antaranya adalah:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (Q.S. Al-Baqarah : 154).

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki” (Q.S. Ali Imron : 169).

Saya juga berkeyakinan, dengan mendasarkan kepada ayat-ayat tersebut, bahwa seorang wali Allah itu ‘masih hidup’ dan diberi rezeki oleh Allah. Ada beberapa alasan yang dapat memperkuat keyakinan tersebut:


1. Ruh itu sesungguhnya hidup di alamnya (alam barzakh). Bagi ruh seorang wali Allah, dia akan memperoleh rezeki (surga). ‘Kehidupannya’ tentu saja sangat berbeda dengan selain wali-Nya, Nabi-Nya, Rasul-Nya. Mereka adalah termasuk orang-orang pilihan yang sangat diistimewakan oleh Allah Swt. Artinya, ruh orang-orang kafir, musyrik, fasik dan munafik tidak sama sebagaimana ‘kehidupan’ ruh mereka (termasuk di dalamnya golongan kaum muttaqin, solihin, siddiqin);

2. Memasuki alam keabadian tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, selain dapat diketahuinya melalui perantaraan ayat-ayat Allah atau hadits Nabi-Nya Saaw. Karena itu, saat dikatakan di dalam firman-Nya bahwa Allah telah menurunkan para malaikat dan ruh-ruh suci dengan seizin Tuhannya (Q.S. Al-Qadar : 4), tak seorang pun tahu bagaimanakah yang sesungguhnya. Pemahaman ‘turun’ tidak disamakan sebagaimana turunnya seorang manusia dari tempat ketinggian ke bawah (bumi), melainkan turun menghampiri hati orang-orang yang sedang merindu kepada Tuhannya. Maka, bila Allah Swt telah memberinya izin berarti sesungguhnya sangat dapat terjadi ruh seorang wali Allah menghampiri ruh kaum mukmin yang senantiasa rindu akan Tuhannya;

3. Dengan seizin Allah Yang Maha Kuasa atas seluruh makhluk-Nya, ruh seorang wali dapat mengajari orang yang haqqul yaqin akan ‘kehadirannya’ di tataran wilayah goib, yaitu melalui hatinya (ruhnya). Orang-orang mukmin yang haqqul yaqin hatinya senantiasa berdzikir menyeru nama Tuhannya dalam keadaan duduk, berdiri maupun berbaring;

4. ‘Kehadiran’ mereka (para wali Allah) termasuk rezeki dari Allah bagi dirinya dapat menghampiri kaum soleh (baik anak keturunannya maupun kaum mukmin pada umumnya). Sebaliknya, ‘kedatangan’ mereka (para wali Allah) ke dalam jiwanya (kaum soleh yang senantiasa berkhidmat kepada Allah) merupakan keberuntungan. Al-Qur’an menyebutnya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (QS. Asy-Syamsi : 9);

5. Allah Swt menunjuki “Jalan yang lurus” dengan kemuliaan diri-Nya kepada kaum mukmin yang telah dibukakan hatinya. Allah Azza wa Jalla sungguh Maha Bijaksana atas janji-Nya kepada para wali Allah yang telah berjuang dengan sungguh-sungguh sehingga mendudukkan dirinya mulia di sisi Allah. Dengan kemahabijaksanaan Allah lah para wali Allah, yang telah memperoleh rezeki di alam barzakh, dapat berbuat saling tolong menolong dalam ketakwaan sebagaimana perintah Allah Swt di dalam Al-Qur’an. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Q.S. Al-Ma’idah : 2).


Makna Jalan Yang Lurus


Dalam pemaknaan terhadap “Jalan yang lurus” sangat terkait dengan ayat 7 surat Al-Fatihah, yaitu jalan orang-orang yang telah Allah anugerahi kenikmatan kepada mereka (para nabi dan wali Allah atau kaum soleh). Dengan demikian, saya dapat memaknai “Jalan yang lurus” dalam ungkapan sebuah kalimat: “Allah Azza wa Jalla seolah telah ‘menyerahkan’ Jalan-Nya sebagai Jalan milik para kekasih-Nya.” Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana seolah-olah hendak memperlihatkan, melalui ayat tersebut, bahwa barang siapa yang ingin menemukan “Jalan yang lurus” temui mereka (para kekasih-Nya) agar tidak mendapati “Jalan mereka yang dimurkai” dan “Jalan mereka yang sesat.”
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner