Translate This Blog

5.10.11

Pengetahuan Kesufian

Pengetahuan Kesufian

Kegiatan utama kaum muslim dalam keseharian lebih banyak menggunakan waktunya untuk berpikir logis analitis. Keberadaan akal menempati skala prioritas paling menonjol dibandingkan dengan merenung (tafakur) atau kontemplatif. Karena itu, berpikir dianggap memiliki pengaruh terbesar terhadap kehidupan di dunia. Tentu saja, hal ini sangat wajar karena Allah telah menciptakan akal agar dapat berpikir. Tulisan ini akan membandingkan pengetahuan logis analitis dan pengetahuan kesufian (terinspirasi melalui tafakur atau berpikir kontemplatif).

Pengetahuan logis analitis sesungguhnya tidak sama dengan berpikir untuk merenung. Alasan yang paling tepat dalam hal ini adalah pertama, akal diciptakan untuk mengeluarkan manusia dari kebodohan. Dengan akalnya, Allah berkehendak agar umat manusia mengetahui banyak hal dalam kehidupan di alam dunia. Sebagai wujud ada-Nya Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, dengan akal tersebut sepatutnya manusia dapat memikirkan setiap segala sesuatu yang ada di sekitarnya untuk direnungkan (berpikir untuk mengagumi kemahabesaran Allah).

Kedua, akal sengaja dikaruniakan kepada umat manusia supaya menjadi seorang hamba-Nya yang setia mengikuti kehendak-Nya. Dari kedudukan manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah, akal berperan untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah itu.

Dari kedua alasan tersebut, maka akal sesungguhnya dipersiapkan untuk memikirkan apa dan bagaimana Allah dapat menciptakan semua yang ada di langit dan di bumi serta mengapa Allah menciptakannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini termasuk mengajak akal untuk berpikir logis analitis dari apa yang tampak terlihat dan terdengar secara lahiriah (proses inderawi).

Selanjutnya, melalui kemampuan akal menganalisa, dari berpikir logis analitis tersebut seharusnya tidak hanya cukup berhenti sampai di situ. Allah mengajak umat manusia yang telah dikarunia akal untuk merenungkan (berpikir untuk merespon ketakjuban atas penciptaan langit dan bumi). Dan, inilah yang sesungguhnya dikehendaki oleh Allah kepada umat manusia dengan akalnya.

Pengetahuan logis analitis saja ternyata tidak cukup, melainkan diperintahkan untuk berpikir agar dapat merenungkan ciptaan-Nya, yang dengan begitu akan lahir ketakjuban terhadap kemahabesaran-Nya. Pengetahuan yang dimaksud terakhir ini adalah pengetahuan yang mengedepankan kerinduan hati seorang hamba kepada Tuhannya atas penciptaan langit dan bumi. Inilah yang saya kategorikan sebagai Pengetahuan Kesufian.

Pengetahuan kesufian, sebagaimana dimaksud di atas, merupakan pemahaman yang mendalam dari seorang hamba Allah yang senantiasa berkhidmat merindukan-Nya dengan tak pernah melalaikan-Nya (senantiasa mengingat-Nya) di setiap keadaan dan waktu sampai sangat mengharapkan akan perjumpaan dengan-Nya.

Atas dasar itulah pengetahuan kesufian tak lepas dari ketergantungan kepada-Nya. Allah menjadi dambaan, sandaran dan harapan atas seluruh aktivitasnya di dunia. Apa pun yang terkait dengan kerinduan kepada-Nya dijalankan dengan sungguh-sungguh. Perjalanan hidupnya hanya untuk-Nya mengikuti apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya.

Mengikuti Kehendak-Nya


Pelajaran yang dibutuhkan untuk memperdalam kerinduan kepada Allah dikaji dan diamalkan. Dengan menyandarkan kepada ayat-ayat-Nya, pengetahuan tentang apa yang menjadi kehendak Allah dipatuhi tanpa mengingkarinya. Dari situlah pengetahuan kesufian dimulai.

Ketakjuban terhadap apa yang telah diciptakan Allah merupakan bagian dari cermin akan kerinduan kepada-Nya. Sebaliknya, kerinduan akan perjumpaan dengan-Nya menjadi kehendak Allah atas kaum mukmin yang meyakininya tanpa ragu sedikit pun.

Orang-orang yang beriman kepada Allah yang menjalani pengetahuan kesufian disebut kaum sufi. Petunjuk-petunjuk yang didapatinya merujuk kepada seorang Mursyid yang kamil mukamil. Dari sanalah pengetahuan kesufian kaum sufi (Ahli Tasawuf) diperoleh. Allah dirindukan dan diikuti apa yang menjadi kehendak-Nya.

Adakah pengetahuan kesufian dapat mengantarkan menuju jalan-Nya? Keyakinan kuat akan kemahabijaksanaan Allah menjadi landasan utama dalam menggeluti pengetahuan kesufian. Atas keyakinan seperti itulah, seorang Mursyid sang pembimbing mengajarkan dan menuntun Ahli Tasawuf menapaki jalan Allah, sebagaimana jalannya orang-orang terdahulu (para Nabi dan orang-orang soleh).

Kebijaksanaan Allah (Al-Hikmah) dianugerahkan oleh Allah kepada siapa yang Dia kehendaki. Pengetahuan kesufian telah memperdalam bagaimana kehendak Allah itu diikuti dengan setia tanpa terpaksa dan keraguan.

Pengetahuan kesufian telah mengedepankan kerinduan hati kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, ayat-ayat Allah yang telah memerintahkan untuk kaum mukmin mencintai-Nya diamalkan dengan sungguh-sungguh di dalam hatinya, di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kerinduan kepada-Nya dengan senantiasa berkhidmat menyebut-nyebut asma-Nya adalah kehendak-Nya.

Bagi kaum sufi, berdo’a di saat kapan pun tak terabaikan. Berdo’a adalah kebutuhannya dalam bergantung kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana yang diperintahkan-Nya. Dengan berdo’a, kaum sufi serasa dekat dengan Tuhannya yang sangat disandarkan dalam menempuh perjalanan menuju kepada-Nya.

Oleh karena itu, pengetahuan kesufian meliputi dzikrullah, tafakur dan berdo’a. Dengan dzikrullah, kerinduan kepada-Nya benar-benar ditunjukkan. Dengan tafakur atas penciptaan langit dan bumi merupakan wujud atas kesetiaan sebagai seorang hamba yang berakal mengikuti perintah Tuhannya. Dan dengan berdo’a, kaum sufi sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, selain sebagai seorang hamba yang sangat lemah tak berdaya dan sangat membutuhkan pertolongan-Nya.***
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner