Translate This Blog

11.11.11

Akal Kaum Takwa

Akal Kaum Takwa

Pernahkah terbetik untuk mengenali seperti apakah akal kaum takwa? Saya, insya Allah, akan mengurai pokok pembicaraan ini dalam perspektif ahli tasawuf. Secara umum, banyak ahli yang sudah mengupas tentang persoalan akal manusia dengan pendekatan logika berpikir.

Akal, menurut pemahamanku, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menunjuk adanya kerangka acuan berpikir seseorang terhadap respon sinyal yang datang ke memori otaknya. Arus informasi yang tertangkap di memori otak, selanjutnya ditransfer ke salah satu sel saraf yang berfungsi mengolah, menganalisa dan menyimpulkan.

Akal, karena itu, sering disepadankan dengan suatu pola pikir otak. Akal tak lepas dari kapasitas kemampuan berpikir otak manusia. Akal yang cerdas berarti kapasitas kemampuan berpikir otaknya relatif baik. Sebaliknya, akal menjadi tidak cerdas apabila kapasitas kemampuan berpikirnya relatif tidak baik.

Akal, demikian juga yang disebut pikiran, memiliki kapasitas. Artinya, kecerdasan akal manusia dalam berpikir sangat ditentukan dari daya tampung sel-sel saraf otaknya dalam merespon sinyal yang datang ke bagian penampungan (memori). Setiap otak manusia memiliki daya tampung yang berbeda.

Karena itu, tidaklah heran jika ada manusia yang cerdas dan yang tidak cerdas dalam berpikir; akalnya pun demikian. Akal sebagai karunia yang dianugerahkan Allah untuk umat manusia tercipta tidak sama. Persis sebagaimana tidak samanya postur tubuh atau wajah manusia. Ada yang cantik, juga ada yang biasa-biasa saja (standar). Wajahnya cantik, tapi pendek. Ada yang tampan, tapi dia juga jangkung (tinggi).

Akal cerdas tidak melekat pada wajah yang cantik-cantik saja. Memang ada yang cantik dan juga cerdas. Tidak sedikit orangnya cantik tapi tidak cerdas. Tetapi banyak juga, parasnya biasa-biasa saja tapi cerdas. Pada laki-laki pun demikian. Tidak semua yang berwajah tampan pasti cerdas. Sekalipun ada yang tampan dan juga cerdas. Begitu pun wajahnya biasa-biasa saja, tetapi dia sangat cerdas.

Allah Yang Maha Pencipta bukan tidak adil dalam menciptakan setiap makhluk-Nya. Kekuasaan-Nya adalah jawabannya. Apa yang menjadi kehendak-Nya ditetapkan sebagaimana keluasan ilmu-Nya. Manusia seluruhnya diberi akal, tetapi tidak seluruhnya pada penciptaan akalnya berada pada kapasitas kemampuan yang sama.

Perbedaan penciptaan setiap makhluk-Nya bukanlah menjadi ukuran kemuliaan dirinya, melainkan karena ketakwaan hamba-Nya. Siapa pun, sekalipun wajahnya biasa-biasa saja juga otaknya tidak sangat cerdas, tetapi bila dia sangat tunduk dan patuh kepada-Nya, maka baginya berhak menjadi mulia di sisi-Nya.

Begitupun sebaliknya, wajahnya sangat tampan otaknya diberi kecerdasan, tetapi bila dia angkuh lagi membiarkan hatinya lalai kepada Dia Yang Maha Mulia, mustahil dia didudukkan pada derajat mulia di sisi-Nya.

Dengan kata lain, akal orang takwa itu tidak ditempatkan di depan hatinya, melainkan akalnya senantiasa mengikuti apa yang disuarakan oleh hatinya yang tak pernah melalaikan Tuhannya. Hati orang takwa berada di depan akalnya. Betapa pun dia cerdas akalnya, tetapi tidak sombong dirinya. Orang yang berakal lagi bertakwa melihat, mendengarkan dan menyuarakan isi hatinya sejalan dengan nilai-nilai kebenaran.

Ketundukan dan kepatuhan akal terhadap apa yang diberitakan atau dipesankan oleh suara hatinya telah mengantarkan orang-orang bertakwa tunduk dan patuh terhadap apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya.

Akal bukanlah satu-satunya karunia Allah yang dianugerahkan kepada manusia, Allah Yang Maha Bijaksana menyertakan juga ruh bersama jasadnya (jasmaniah). Ruh orang bertakwa senantiasa menjadikan akalnya dapat berkhidmat mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan ruhnya.

Ruh, menurut pengalaman spiritualku, adalah hati. Jika seseorang hatinya tak pernah mengikuti perintah Allah yang disebut pada ayat 205 surat Al-A’raaf, maka ruhnya kosong dari mengingat Allah. Pada ayat tersebut, Allah Yang Maha Mulia berfirman,

واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (Q.S. Al-A’raaf : 205).

Ruh yang tidak mengikuti perintah Allah Azza wa Jalla pada ayat tersebut, mustahil akan menjadi mulia di sisi-Nya betapa pun akalnya cerdas, otaknya dianugerahi kapasitas memori yang mumpuni.

Ketundukan dan kepatuhan mengikuti perintah Allah kerap melahirkan ketakwaan. Kalau kepatuhan tidak ada, ketundukan mustahil menyertainya. Syarat untuk patuh terletak pada ketundukannya. Karena itu, kaum mukmin yang tunduk pasti patuh.

Sedangkan orang-orang yang selalu mengunggulkan akal cerdasnya, ketundukan dan kepatuhan selalu saja dikomentari dengan berbagai argumentasi. Orang-orang yang kalau diperintah langsung mengikuti dengan hati yang ikhlas, maka dia termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh, sekalipun akalnya juga cerdas. Dalam kondisi jiwa yang seperti itu, orang-orang yang tunduk dan patuh sama sekali bukan tidak berakal (menggunakan akalnya). Justru mereka lah yang disebut sebagai orang-orang yang telah menggunakan akalnya.

Karunia Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana berwujud akal bagi umat manusia seharusnya tidak direspon dengan pengunggulan akal sehingga mengabaikan hatinya untuk berkhidmat mencintai-Nya. Kelebihan akal dengan banyak keutamaan-keutamaan yang dikandung di dalam sel-sel saraf otaknya, pastilah bukan manusia yang merancangnya. Akal yang seperti itu, Allah lah yang menciptakannya.

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner