-->

Translate This Blog

11.7.11

Keberuntungan Menyucikan Jiwa

Keberuntungan Menyucikan Jiwa


قد أفلح من زكاها
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (Q.S. Asy-Syams : 9).

Apa untungnya orang yang menyucikan jiwa itu? Allah Swt telah berfirman, sebagaimana ayat di atas, pasti tidak sekedar asal berfirman, selain akan menepati perkataan-Nya.

Sebagai Tuhan Yang Maha Suci, Allah Azza wa Jalla telah menempatkan diri-Nya dalam “kedudukan”-Nya sebagai Dia (Allah) Yang Maha Menepati Janji-Nya. “Menyucikan jiwa,” dengan demikian, dapat dimaknai sebagai berbuat sebagaimana seadanya tanpa menyimpang dari perkataan jiwa (hati atau diri atau ruh), melainkan tiadanya dusta atau kepalsuan antara jiwa dengan lahirnya.

Allah Swt adalah sebutan atas Dia (Allah) Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Kesucian diri-Nya meniadakan terjadinya kepalsuan atau kebohongan dalam perkataan-Nya. Apa pun yang difirmankan-Nya pasti benar ada-Nya, bukan tak mungkin ada Dia Yang Maha Mengetahui lagi Maha Luas Ilmu-Nya pada setiap apa yang dikatakan-Nya.

Secara kebahasaan, suci dapat diartikan sebagai bersih dari kekotoran. Kekotoran, dengan begitu, lawan dari kesucian. Dua keadaan yang disifati berbeda satu sama lain. Jika ada sebuah wadah berisi dari dua keadaan yang disifati itu (suci dan kotor), maka keberadaan wadah tersebut cenderung menjadi kotor, sekalipun ada terkandung nilai-nilai kesuciannya (bersih). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wadah tersebut didominasi oleh kepalsuan (kekotoran).

Jadi, apabila ada sebuah botol berisi air mineral, pada mulanya, kemudian ‘kemasukan’ air kotor, maka isinya pasti cenderung mengikuti ‘kekotoran’ (menjadi kotor). Dari isinya, botol tersebut tidak menunjukkan bersih (suci), sekalipun wadah (botol) tersebut tetap tampak bersih. Perumpamaan ini dibuat untuk menggambarkan suatu keadaan jiwa dengan lahirnya (jasadnya).

Allah Azza wa Jalla telah mengangkat sumpah (lihat surat Asy-Syams : 1-7) dengan matahari dan cahayanya di pagi hari; bulan apabila mengirinya (matahari); siang apabila (matahari) menampakkannya; malam apabila (matahari) menutupinya (tersembunyi dari permukaan bumi yang dilintasinya); langit serta pembinaannya (penertiban dengan kekuasaan-Nya); bumi serta penghamparannya (yang ada di atas permukaan dan di dalam bumi untuk kebutuhan makhluk-Nya); dan jiwa serta penyempurnaannya (terbebas dari kepalsuan dari dalam jiwa), selanjutnya (pada ayat 8) Allah Swt berfirman:

فألهمها فجورها وتقواها
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,” (Q.S. Asy-Syams : 8).

Ayat di atas menjelaskan suasana kejiwaan seseorang (muslim) yang terbagi menjadi dua: fasik dan takwa. Allah lah yang mengilhamkan kefasikan juga ketakwaan. Mengapa begitu? Dia (Allah) Yang Maha Berkuasa. Atas apa pun yang diciptakan-Nya berada di dalam genggaman tangan-Nya. Adakah bahwa hal demikian bukan disebabkan oleh gangguan iblis yang menyesatkan seseorang (muslim) menjadi fasik?

Kefasikan seseorang lebih disebabkan karena dia telah berdusta (berbohong) kepada Allah. Kefasikan adalah jalan setan, maka ketika seseorang mengikutinya (setan), dia menjadi sesat. Karena begitu, lalu Allah ‘tenggelamkan’ dia di dalam kesesatan (kefasikan), sebagaimana Dia (Allah) telah membuat perumpamaan atas orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk (perumpamaan untuk orang-orang munafik).

أولئك الذين اشتروا الضلالة بالهدى فما ربحت تجارتهم وما كانوا مهتدين
“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk“ (Q.S. Al-Baqarah : 16).

مثلهم كمثل الذي استوقد نارا فلما أضاءت ما حوله ذهب الله بنورهم وتركهم في ظلمات لا يبصرون
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat” (Q.S. Al-Baqarah : 17).

Oleh karena itu, pada ayat 9 surat Asy-Syams (lihat ayat yang telah disebut di awal pembicaraan), Allah Azza wa Jalla mempertegas suasana kejiwaan seseorang yang memperoleh keberuntungan apabila dia mengikuti perintah Allah untuk menyucikan jiwanya (hatinya atau dirinya atau ruhnya). Ini adalah salah satu ciri orang yang telah diilhamkan oleh Allah ke dalam jiwanya ketakwaan.

Sedangkan pada ayat berikutnya (ayat 10 surat Asy-Syams), ditegaskan oleh Allah Azza wa Jalla bahwa seseorang akan memperoleh kerugian sekiranya jiwanya (hatinya atau dirinya atau ruhnya) kotor akibat dia tidak mengikuti perintah dan larangan Allah sebagaimana yang telah difirmankan di dalam kitab-Nya (Al-Qur’anul Karim). Allah Azza wa Jalla akan berbuat kepada orang yang seperti itu dengan mengilhamkan kefasikan ke dalam jiwanya.

وقد خاب من دساها
“dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-Syams : 10).

Mengapa Allah Azza wa Jalla menggunakan istilah “faalhamaha” (maka Allah mengilhamkan) untuk orang-orang fasik (juga munafik) dan orang-orang bertakwa? Istilah ilham digunakan sebagai sebutan atas kekuasaan Allah dalam berbuat sebagaimana kehendak-Nya. Jadi, istilah ilham dapat juga dipakai untuk menunjuk kepada seseorang yang dikehendaki oleh Allah akibat kedurhakaan atau ketakwaan. Kepada mereka yang durhaka, Allah ambil cahaya-Nya (Nurullah) dari dalam jiwanya sehingga mereka menjadi gelap tidak dapat melihat (sesat). Sedangkan bagi mereka yang bertakwa karena keistiqamahannya, Allah turunkan cahaya-Nya ke dalam jiwanya lebih terang dari sebelumnya (ruh diciptakan oleh Allah pada mulanya disertai dengan cahaya Allah agar menerangi manusia (basyar) untuk tetap mengikuti perintah dan larangan Allah).

Menyucikan jiwa dengan mengotorinya jelas pasti berbeda. Penyucian dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan menghilangkan kekotoran yang bersarang di dalam jiwa (diri atau ruh atau hati) karena mengikuti bisikan kejahatan iblis laknatullah ‘alaih. Orang yang mengikuti bisikan kejahatan iblis laknatullah ‘alaih menganggap dirinya benar menurut persangkaannya, padahal disebabkan dia telah mengabaikan suara hatinya (yang secara fitrah telah menunjukkan atas setiap perkataan atau perbuatan sebagai yang wajib diikuti atau harus ditinggalkan). Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengindahkannya (suara hatinya). Inilah yang menyebabkannya tersesat di dalam dirinya sendiri karena selalu mengikuti bisikan setan daripada mendengarkan suara hatinya (ruhnya atau jiwanya atau dirinya).

Orang yang senantiasa mendengarkan suara hatinya termasuk orang yang mengikuti petunjuk Allah lewat cahaya-Nya yang telah tertanam di dalam jiwanya (hatinya atau dirinya atau ruhnya). Maka, orang-orang yang berbuat sebaliknya berarti dia telah mengabaikan petunjuk Allah melalui cahaya-Nya yang tersimpan di dalam jiwanya. Apabila dia tidak segera bertobat kepada Allah Swt, maka Dia (Allah) pasti mencabut cahaya-Nya itu dari dalam jiwanya (hatinya atau ruhnya atau dirinya). Naudzu billahi min dzalik.

Orang-orang yang disesatkan oleh Allah menganggap dirinya benar dari setiap perkataannya atau perbuatannya, padahal hanya persangkaan mereka belaka. Allah Swt berfirman di dalam surat Al-An’am ayat 116:

وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله إن يتبعون إلا الظن وإن هم إلا يخرصون
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”

Orang-orang yang mengikuti persangkaan adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kebenaran ayat-ayat Allah. Dengan tegas, Allah Swt berfirman:

وما لهم به من علم إن يتبعون إلا الظن وإن الظن لا يغني من الحق شيئا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (Q.S. An-Najm : 28).

Kebenaran sangkaan iblis kepada orang-orang yang mengikutinya telah difirmankan oleh Allah.

ولقد صدق عليهم إبليس ظنه فاتبعوه إلا فريقا من المؤمنين
“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman” (Q.S. Saba’ : 20).

Jadi, orang-orang yang menyucikan jiwanya adalah orang-orang yang akan memperoleh keberuntungan sebagai orang-orang yang bertakwa. Sebaliknya, orang-orang yang mengotorinya, yang selalu mengikuti persangkaan (bukan suara hati) akan mendapatkan kerugian, yaitu Allah Azza wa Jalla menyesatkannnya sebagai orang-orang fasik (tidak taat dan patuh atas perintah dan larangan Allah), termasuk juga, bagi mereka yang beriman sekedarnya tidak sebenar-benarnya beriman, sebagai kaum munafik.

Bagaimana Menyucikan Jiwa Itu?


Saya telah menyebut di beberapa tulisan saya sebelumnya, bahwa jiwa itu sesungguhnya adalah sama dengan diri (nafs). Sedangkan nafs (diri) itu sendiri adalah ruh kita yang menyertai jasad (basyar) yang berada di luar realitas (tak tampak dari pandangan mata lahir). Pada sisi lain, kita disebut-sebut memiliki hati (qalb) yang juga tidak dapat dijangkau oleh penglihatan (mata lahir), yang tidak sama dengan ‘hati’ sebagai bagian dari organ tubuh kita. Karena itu, saya menyatakan bahwa ruh itu adalah hati atau jiwa atau diri yang sama-sama tidak berada di alam realitas tetapi menyertai fisik (jasad) kita.

Jiwa atau diri atau ruh atau hati sebenarnya adalah aku yang sesungguhnya, yang akan dipersiapkan untuk menemui Tuhannya. Maka, ‘aku’ harus sudah bersiap-siap sebelum menemui-Nya dalam keadaan suci (bersih dari kekotoran). Kapankah ‘aku’ itu dapat menemui Dia (Allah) di hadirat-Nya? Jawabnya adalah ketika ‘aku’ sudah suci. Jadi, mustahil Allah Yang Maha Suci akan menjumpainya bila ‘aku’ masih dalam keadaan kotor.

Dengan kata lain, Menyucikan Jiwa itu sebenarnya menyucikan ‘aku’ yang pada mulanya (fitrah) bersih seperti tabula rasa. Dalam perjalanan hidup, ‘aku’ telah tercemar oleh kekotoran yang dibawa oleh ‘musuh yang nyata’ (‘aduwwum mubiin), yaitu iblis laknatullah ‘alaih. Mengingat ‘aku’ dalam keadaan lemah tak berdaya, maka ‘aku’ selalu kalah menghadapi ‘musuh yang nyata’ itu. Maka, jadilah ‘aku’ berada di dalam perangkapnya (iblis laknatullah ‘alaih). Kepada siapakah ‘aku’ harus meminta pertolongan agar terbebas dari perangkapnya? Hanya kepada-Nya lah ‘aku’ dapat ditolong. Dia lah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengalahkan musuh-musuh-Nya. La quwwata illa billah – tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

Allah Azza wa Jalla telah menurunkan Al-Qur’an agar dijadikan pedoman bagi orang-orang yang beriman (meyakini kebenaran akan keberadaan-Nya sebagai Tuhan Yang Mahaesa) kepada-Nya. Seluruh persoalan hidup manusia telah dijelaskan di dalamnya. Akan tetapi, manusia kebanyakan enggan untuk mempelajari, mengkaji dan mengamalkannya.

Sebagai seorang yang beriman kepada Allah, kita sudah seharusnya mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika Allah mengabarkan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwanya itu,” apa yang seharusnya diikuti atas berita tersebut? Orang-orang yang sebenar-benarnya beriman akan segera mencari tahu apa yang disebut suci, jiwa dan bagaimanakah caranya?

Kita sebetulnya telah sering mendengar beberapa ayat Allah yang menegaskan perkara jiwa atau hati atau diri atau ruh. Sekiranya kita benar-benar beriman kepada Allah, maka tidak ada istilah malas, tidak bersemangat dan sebagainya dalam mengkaji firman-Nya di dalam Al-Qur’an. Bila mengkaji sudah tidak ada semangat, apalagi mengamalkannya? Inilah kekalahan manusia yang mengaku beriman kepada Allah terhadap hasutan iblis laknatullah ‘alaih. Kekalahan pertama sudah dilalui, kemudian adakah untuk bangkit ‘mengalahkan’ mereka?

Bila diajak untuk mengkaji sudah kalah, bagaimanakah jika mengamalkannya? Di sinilah kita diuji oleh Allah, apakah kita benar-benar beriman atau sekedar mengaku beriman? Saya serahkan jawabannya kepada anda yang memiliki jiwa atau ruh atau hati atau diri (aku yang sesungguhnya). Allah hanya akan menolong kepada mereka yang benar-benar beriman, bukan yang sekedar mengaku beriman.

Saya sudah menjelaskan bahwa sesungguhnya ‘aku’ sangat lemah tak berdaya, maka ‘aku’ sudah seharusnya memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla bila benar-benar ingin mengalahkan ‘musuh yang nyata.’ Etika atau tata cara yang sepatutnya dilakukan untuk memohon kepada Allah diniatkan dengan sungguh-sungguh, tidak asal-asalan.

Ayat Allah telah menjelaskan agar mintalah kepada Allah pertolongan dengan sabar dan solat (lihat Q.S. Al-Baqarah : 45). Sabar bermakna tetap taat kepada Allah sekalipun iblis menggoda ‘aku’ untuk tidak taat. Solat, di sisi yang lain, merupakan bentuk penghambaan ‘aku’ kepada-Nya dengan tulus tanpa malas. Dengan ungkapan sederhana, maknanya adalah bila kita ingin ditolong oleh Allah, hendaklah tetap taat (melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya) disertai dengan merendahkan diri memohon kepada-Nya di dalam solat kita dengan penuh khusyuk bahwa Dia (Allah) Maha Mengetahui keadaan ‘aku’ yang sedang membutuhkan pertolongan-Nya.

Selanjutnya, boleh jadi anda akan bertanya, bagaimakah solat yang khusyuk itu? Ke-khusyuk-an akan dapat terjadi sekiranya ‘aku’ yang berada di luar realitas (goib) benar-benar dapat merasakan kehadiran Yang Maha Goib. Tetapi, bagaimana mungkin ‘aku’ yang disekap oleh ‘musuh yang nyata’ dengan mudah merasakan kehadiran Yang Maha Goib lagi Maha Suci itu? Allah berfirman bahwa solat itu untuk mengingat Aku (Allah). Jadi, bila solat tidak dapat mengingat Aku (Allah), maka sulit solat yang ditunaikan mencapai derajat khusyuk.

إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S Thaha : 14).

Maka, kuncinya adalah mengingat Aku (Allah). Kekuatan mengingat (dzikir) sangat berpengaruh terhadap jiwa atau ruh atau diri atau hati sebagai aku yang sesungguhnya. Satu asma Allah disebut, maka akan menimbulkan kekuatan dari Allah Yang Maha Perkasa. Allah Azza wa Jalla, karena itu, memerintahkan kepada kaum mukmin untuk berdzikir kepada Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dengan cara menyebut asma-Nya di dalam hati.

يا أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya” (Q.S. Al-Ahzab : 41).

واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (Q.S. Al-A’raaf : 205).

Pengaruh dzikir di dalam hati dengan sebanyak-banyaknya (tanpa batas) akan memperkuat ‘aku’ sebagai seorang hamba yang tunduk dan patuh kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Perkasa. Selain itu, juga menjadikan ‘aku’ bertambah tenteram karena Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana senantiasa mengingatku, sebagaimana perkataan-Nya di dalam Al-Qur’an:

فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (Q.S Al-Baqarah : 152).

الذين آمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (Q.S. Ar-Ra’d : 28).
Untuk mengetahu secara rinci proses penyucian jiwa dengan zikir, Anda dapat membaca artikel Penyucian Jiwa Melalui Zikir Khafi

Maka, dengan keadaan ‘aku’ yang senantiasa mengingat Allah, ‘aku’ kapan pun dan dalam keadaan apa pun (berdiri, duduk, berbaring, juga dalam solat) tak pernah melupakan Allah. Dengan cara begitulah solat khusyuk dapat dicapai dan Allah akan segera menolong ‘aku’ dapat mengalahkan ‘musuh-musuh yang nyata’ yang telah menguasai ‘aku’. Karena iblis laknatullah ‘alaih telah jauh dari ‘aku’, maka ‘aku’ menjadi suci kembali seperti bayi yang baru lahir.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post

4 komentar

avatar

assalamu'alaikum pak ahmad,

mohon pencerahannya..
"aku"... bagaimana melepaskan "aku-ruh" dari "aku-jasad" shg "aku-ruh" mnjadi tidak dipengaruhi oleh kebutuhan jasad. apa itu nafsu yg slalu ingin memenuhi kebutuhan jasad.. knapa "aku-ruh" bisa dipengaruhi oleh nafsu, padahal sbnarnya dianya suci. apakah nafsu mengikuti "aku-ruh" atau mengikuti "aku-jasad" sdgkan jasad sebenarnya hanyalah sbg alat/bajunya "aku-ruh"... apakah "aku-ruh" bisa pindah ke jasad lainnya?
"aku" adalah bagian dari Tuhan-ku Allah dan akan kembali kepadanya. Kedekatan "aku" dgn Tuhanku Allah adalah sebuah kekuatan yg Maha utk menangkal smua pengaruh iblis yg ingin mengajak "aku" menuju kesesatan, sdgkan jasad hanyalah "benda" yg akan mengikuti keputusan "aku" dalam bertindak. "aku" lemah tanpa Tuhanku Allah dan "aku" bodoh tanpa Muhammad panutanku.

Pak Ahmad.. demikian-kah "aku" itu?
Terima kasih sebelumnya atas pencerahannya.

Wassalam,

Eddy-Shaliq, Samarinda.

avatar

Wa 'alaikum salam wr. wb.

Yth. Mas Eddy

Semoga Allah Swt mencerahkan anda dalam mengkaji ayat-ayat Allah. Amin!

Jasad manusia sebenarnya adalah satu bagian dengan ruhnya (manusia, bukan makhluk lainnya). Lipan, misalnya, adalah seekor binatang tanpa ruh, padahal dia (lipan) memiliki jasad. Misalnya lagi, kambing, kerbau, ayam dll.

Allah Swt telah menciptakan makhluk-Nya berbeda satu sama lain karena Dia Maha Pencipta lagi Maha Luas Ilmu-Nya! Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang dimuliakan daripada kebanyakan makhluk yang telah Dia (Allah) ciptakan karena manusia diberi otak untuk berpikir dan berakal.

Akal adalah satu-satunya karunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Kedudukan akal, dalam hal ini, digunakan untuk berpikir sehingga dapat memberikan pencerahan kepada manusia akan hakikat penciptaan.

Manusia yang berakal adalah manusia yang jasmaninya terhubung dengan ruhaninya. Bukan manusia berakal bila ada jasmani (jasadnya) tetapi ruhaninya diabaikan, sekalipun dia (manusia) tersebut masih hidup.

Jadi, manusia yang berakal itu adalah manusia yang masih hidup karena ruhaninya belum berpisah dengan jasadnya. Sebaliknya, manusia tidak dapat disebut sebagai manusia berakal sekiranya jasadnya telah ditinggalkan oleh ruhnya (aku yang sesungguhnya).

Keberadaan antara ruh (aku yang sesungguhnya) dengan jasad (aku yang sementara dikenali oleh otaknya) tak mungkin lepas sebelum Allah Swt mewafatkan (mengambil ruh atau aku yang sesungguhnya)! Dalam hal ini, jasad merupakan 'baju' yang dipakai oleh ruh (aku yang sesungguhnya) sementara masih hidup di dunia sebagai seorang manusia yang diwajibkan untuk tunduk dan taat hanya kepada Allah Swt.

Maka, 'baju' itu bergantung bagaimana 'aku' menggunakannya! Sekiranya 'aku' dengan kedudukan sebagai pengguna 'baju' telah diberi tahu bagaimana menggunakannya tidak mengindahkan petunjuk tersebut, maka 'aku' lah yang patut disalahkan, bukan 'baju'-nya!

Si pengganggu (iblis lakanatullah 'alaih) di sisi lain adalah perusak yang sudah sangat dikenali oleh 'aku' karena Allah (Sang Maha Pencipta) telah memberitahukannya! Jika 'aku' sesudah diberitahu tetap tidak mau tahu, maka ada kecenderungan 'aku' akan salah mengenakan 'baju'. Sekalipun 'baju'-nya tidak rusak, tetapi tampak dapat dilihat bahwa 'baju'-nya tidak digunakan sesuai petunjuk pemakaian!

Sekali lagi, 'aku' sesungguhnya yang tidak patuh mengikuti petunjuk pemakaian 'baju'. Padahal, 'baju' itu telah dirancang bagus oleh Penciptanya! Di sisi lain, 'aku' seharusnya hati-hati karena perusak yang setiap saat dapat mengelabui seolah-olah dia adalah Dia (Allah) yang memiliki 'kemampuan' mendesain 'baju' sesuai keinginan 'aku'!

Kedekatan kepada Sang Maha Pencipta 'baju' (juga 'aku') akan mempengaruhi cara 'aku' mengenakan 'baju'. Semakin menjauh dari Dia (Allah), semakin memberi peluang sang perusak mengganggu, mengelabui dan membohongi 'aku.'

'Baju' sudah dirancang berpasangan dengan 'aku' sebagaimana kehendak Sang Pemiliknya! 'Baju' A adalah pasangan dari 'aku' A, tidak dapat 'aku' A mengenakan 'baju' B! Sekiranya berharap 'aku' A dinilai sebagai pengguna 'baju' A sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Maha Pencipta, maka bermohonlah petunjuk-Nya agar benar-benar diberitahukan bagaimana yang terbaik mengenakan 'baju' A-nya! Jangan memohon petunjuk kepada selain-Nya (musuh-musuh-Nya yang juga musuh-musuh 'aku')! Mustahil untuk menghindari sang penggoda, 'aku' A berpindah mengenakan 'baju' B yang bukan miliknya.


Salam dariku,


Ahmad

avatar

Asw. Pak Ahmad, terima kasih atas do'a yg diberikan. Mampu mengkaji Al'Qur'an adalah sebuah impian saya yg dengannya saya sangat berharap bisa lebih memaknai hidup, semoga Allah mengizinkan..

Pak Ahmad, bolehkah saya berkomunikasi dgn Bapak personally? Mohon info alamat personal e-mail Bapak... saya ingin mengenal diri saya sendiri, Allah dan ilmu-Nya lebih dalam melalui Bapak, jikalau kiranya Bapak berkenan... Hati saya dipenuhi dgn debu dan karenanya saya sulit istiqomah... mohon kesediaan Bapak. Semoga Allah selalu merahmati Bapak. Terima kasih.

Wassalam,

Eddy-Shaliq, Samarinda.

avatar

Wa 'alaikum salam wr. wb.

Saya sangat terbuka buat siapa pun yang berkeinginan sharing mengenai ayat-ayat Allah Yang Maha Mulia.

Seandainya ada hal-hal yang dipandang private, maka kirim saja ke alamat email: ayy_kb@yahoo.co.id

Dengan hanya mengandalkan kepada ilmu-Nya, insya Allah apa pun permasalahan yang dihadapi pasti dapat di atasi. Sekali lagi, hanya dengan mengandalkan kepada ilmu-Nya sajalah yang sebelumnya tidak mengetahui diajarkan dapat mengetahui setiap perkara yang sulit dijangkau oleh akal.

Salam dariku,



Ahmad


EmoticonEmoticon

Post a Comment

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner